Tingginya angka pengguna media sosial di internet banyak dimanfaatkan penggunanya untuk tujuan tertentu, misalnya: bisnis, promosi, membagikan karya digital hingga membangun personal branding. Tapi tak sedikit juga yang menjadikan media sosial sebagai sarana menggiring opini hingga menimbulkan kebencian pada orang atau kelompok tertentu.
Di era transformasi digital sekarang, media sosial perlu disikapi dengan bijak. Apalagi dengan banjirnya informasi, membuat penilaian orang terhadap suatu informasi menjadi kabur. Maka dari itu literasi digital menjadi kunci untuk dapat melawan efek negatif yang ada di media sosial.
Sesuai dengan empat pilar literasi digital –digital culture, digital ethics, digital skill, dan digital safety– yang disusun oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, pemerintah ingin menciptakan sumber daya yang cakap dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi.
Salah satu program literasi digital itu terwujud dalam penyelenggaraan webinar literasi digital untuk warga Kabupaten Kudus dengan tema “Melawan Ujaran Kebencian di Dunia Maya”, Kamis (5/8/2021). Kegiatan ini dibawakan oleh Dwiky Nara (entertainer) sebagai moderator diskusi, serta menghadirkan pemateri yang cakap di bidangnya.
Muawwin (jurnalis) sebagai salah satu pemateri menyampaikan bahwa ujaran kebencian dalam sejarah Indonesia merupakan sebuah trauma, dan kini efeknya masih dirasakan. Jika dulu kehidupan sosial masyarakat Indonesia dihantui oleh pertarungan kelompok komunis, agama, dan nasionalis, sekarang ujaran kebencian itu dialami sekali lagi dalam pertarungan politik pada pilpres 2019. Hingga sekarang stigma kubu cebong – kampret masih muncul dan menghantui masyarakat.
Ia menjelaskan, penyebab ujaran kebencian muncul karena adanya berita hoaks yang sengaja dibuat dan disebarluaskan. Maka perlu bagi warga digital untuk meningkatkan literasi digital dan mengetahui tentang hoaks. Selain diartikan sebagai berita atau informasi palsu yang sengaja dibuat, hoaks juga dapat diartikan sebagai kebohongan yang dimanipulasi dengan kebenaran, dusta yang dibenarkan, dan sesuatu yang tak nyata tetapi seolah nyata.
“Hoaks yang sering kita baca itu memiliki dua motif. Ekonomi, hoaks diproduksi untuk mendapatkan keuntungan finansial. Kedua adalah motif politik dalam rangka menjatuhkan pihak lawan untuk meraih peluang kekuasaan. Keburukan dari hoaks adalah menimbulkan kebencian, dan ketika rasa benci itu menguasai diri akan membuat orang bersikap tendensius. Segala aktivitas yang dilakukan orang lain selalu dipersepsikan buruk meski yang dilakukan adalah kebaikan,” jelas Muawwin.
Hoaks menjadi cara efektif untuk memobilisasi massa lewat manipulasi informasi. Salah satu kasus dari Saracen itu mampu membuat isu yang digoreng dan dilempar ke media sosial dengan memanfaatkan pekerja buzzer.
Ada dua cara bagaimana hoaks itu dibuat. Yaitu hoaks yang dibuat amatiran oleh individu yang fanatik, dan hoaks yang dibuat oleh profesional. Hoaks yang diproduksi secara profesional itu seperti ada industri kapital hoaks. Sebuah isu diproduksi, diolah, kemudian disebarkan buzzer menggunakan media sosial untuk mempengaruhi opini masyarakat. Medsos menjadi pilihan empuk karena banyak penduduk Indonesia yang menjadi pengguna aktif.
“Bahaya hoaks itu ibarat monster yang bisa memakan dan membawa keburukan pada kita. Menyulut kebencian, permusuhan, bahkan menegasikan atau meniadakan kelompok lain, memicu revolusi dan pergeseran kekuasaan. Oleh karena itu kita harus hati-hati dan memahami ciri-cirinya,” imbuhnya.
Cara cerdas menangkis hoaks dengan memahami cirinya. Waspadai judul artikel yang memprovokasi atau memaksa, biasanya ada kata viralkan atau sebarkan. Memeriksa kebenaran informasi menggunakan situs cekfakta.com atau google fact check dan situs serupa lainnya. Cek keaslian foto di google image, mengikuti grup anti-hoaks, dan melaporkan berita hoaks ke aduankonten.id
Diskusi virtual juga menghadirkan pemateri lainnya, Adhi Imam Sulaiman (dosen Unaoed), Shofi (kepala MAN 2 Kudus), dan M. Nurkholis (kasi kelembagaan Kemenag Jateng). Selain itu hadir juga Kinanti Sekar (seniman tari) sebagai key opinion leader.