Kebebasan berekspresi yang 32 tahun terbelenggu di masa Orde Baru, akhirnya terbuka lebar setelah bangsa ini memasuki era reformasi pada 1998. Seluruh warga bangsa sontak bebas berekspresi, menyuarakan aspirasi lewat media apa pun. Terlebih ketika era serba digital mulai merasuk dan memasuki semua lini kehidupan, kebebasan berekspresi yang dulu terbelenggu kini bahkan dinilai telah kebablasan. Berlebihan.
Mengutip Dr. Saefudin Syafii, hal itu dipicu bukan karena pranata hukum yang mengatur kebebasan berekspresi belum cukup. Pranata hukumnya sudah lengkap. Kesan kebablasan itu dipicu oleh banyaknya pelaku, khususnya netizen, yang belum bisa menjaga dan menyaring banjir informasi.
”Bukannya ikut menyaring dan menyetop berita bohong atau hoaks, tapi justru menambah dan menyebarkannya secara tidak bertanggungjawab,” ujar dosen UIN Prof. Saefudin Zuhri – Purwokerto itu, saat tampil dalam Webinar Literasi Digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Demak, 23 Juni lalu.
Realitas itulah, lanjut Saefudin, yang masih harus dikontrol bersama, baik oleh sesama netizen, Kominfo atau polisi cyber, untuk menghadirkan efek jera buat pelaku yang masih sembrono dalam bermedia sosial. Biar aman, posisikan diri selalu menjaga sikap yang bebas dan terbatas agar aman dalam berekspresi di dunia digital.
”Saling mengingatkan dan mencegah untuk tidak bebas yang tidak terbatas dan menyebar info hoaks. Itu kuncinya. Mari membiasakan diri untuk menyaring, cek dan koreksi dulu, sebelum menge-share informasi apa pun yang didapat,” ujar Saefudin, yang lama berkarier di Kementerian Agama ini.
Dalam webinar bertajuk ”Bebas dan Terbatas Dalam Berekspresi di Dunia Digital”, Saefudin tak tampil sendiri. Dimoderatori Mansysah, tampil juga narasumber lain, yakni Isharsono (praktisi digital marketing), Taufiqur Rahman (dosen Ilmu Komunikasi UMY), Siti Aminatas Zahriyah (aktivis perempuan dan pegiat literasi Surakarta), serta pengusaha muda Fahry Azmy yang bertindak sebagai key opinion leader.
Sekali lagi, Saefudin mengingatkan, kunci dari terjaganya kebebasan berekspresi di dunia digital – yang bebas dan terbatas – adalah kemampuan atau kecakapan digital (digital skill) para netizen untuk bisa menyaring agar konten positif saja yang disebar. Juga, menjaga betul untuk tidak memproduksi konten yang tidak bermanfaat atau malah memicu disintegrasi persatuan bangsa atau agama.
”Berikutnya, bisa menjaga hak privasi dan menghormati karya cipta orang lain. Kalau mengutip karya orang lain, misalnya, mesti mencantumkan sumbernya dengan jelas. Kalau semua pihak bisa saling mengontrol, maka kebebasan berekspresi yang terkendali akan mudah diwujudkan. Ini tanggung jawab bersama, sesama netizen Indonesia,” pesan Saefudin.
Taufiqur Rahman, dosen Ilmu Komunikasi UMY, punya pendapat lain. Kata dia, di era media lama, peran masyarakat cenderung pasif terhadap produk media massa yang utamanya tampil dalam format cetak dan eletronik. Pasalnya, mereka tidak bisa merespons langsung. Kalaupun mau menanggapi, baru esok atau seminggu kemudian direspons, itu pun terbatas.
Kini, di era media baru, apalagi era digital, masyarakat bisa menanggapi langsung informasi yang telah dipublikasikan di medsos, bahkan saling menanggapi. Di sinilah para pihak, baik produsen info maupun publik, ke depan bisa saling menjaga diri dalam saling merespon. Tidak menjadi debat yang tak berkesudahan dan kontraproduktif. ”Kini, di era respons cepat, kedua pihak – baik produsen konten yang mempublis info dan netizen yang merespon info – bisa saling menjaga sikap yang bebas dan terkendali,” kata Taufiq, mewanti wanti.
Menurut catatan Taufiq, yang saat ini ditunggu lebih banyak hadir adalah konten-konten di dunia digital yang bersifat change maker. Konten yang mengajak bersemangat dan membawa perubahan positif, juga membawa dampak perubahan pada masyarakat untuk memproduksi karya kolaboratif yang menggerakkan ekonomi dan menjadi inspirasi bisnis serta gerak sosial yang positif.
”Saat yang sama, kita mesti berbarengan mencegah hadirnya konten-konten digital yang bersifat trouble maker. Konten yang menebar permusuhan dan kebencian dalam masyarakat,” ujar Taufiq, menutup paparan.