Google Survey merilis sebanyak 83 persen orangtua di Indonesia khawatir anak-anaknya terpapar konten yang tidak pantas atau berbahaya di dunia digital. Itu sebabnya, orangtua harus mengembangkan nilai berbudi luhur dalam diri anak sejak dini. Lalu, diimplementasikan dalam keseharian, agar tidak menyimpang saat melakukan aktivitas di dunia maya.
Digital Enthusiast Burhan Abe mengutip data yang diungkap Wakil Ketua Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia Wuri Ardianingsih, untuk mengawali paparannya pada acara webinar literasi digital bertema ”Membangun Nilai Positif dan Luhur dalam Interaksi di Dunia Maya” yang digelar oleh Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (9/7/2021).
Bersama moderator Vania Martadinata, acara diskusi virtual itu juga menghadirkan narasumber Desyanti Suka Asih (dosen UHN IGB Sugriwa Denpasar), Muhammad Ilham Nur Fatah (Fasilitator Nasional), Saeroni (Head of Studies Center for Family and Social Welfare at UNU), dan musisi Ronald Silitonga selaku key opinion leader.
Dalam paparannya, pendiri Start Up Resep Coffee itu juga menjelaskan hal- hal yang terkait dengan revolusi industri 4.0. Dengan memahami revolusi industri 4.0 diharapkan para pengguna ruang digital lebih cakap bermedia digital, maupun hidup dalam cyberculture.
Menurut Abe, era revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan penerapan konsep otomatisasi dan dilakukan oleh mesin tanpa memerlukan tenaga manusia dalam pengaplikasiannya, merupakan hal vital yang dibutuhkan oleh para pelaku industri demi efisiensi waktu, tenaga kerja, dan biaya.
Revolusi industri 4.0, lanjut Abe, di satu sisi dapat menjadi keuntungan, sisi lainnya dapat menjadi ancaman jika masyarakat dalam suatu negara belum siap menerima perubahan.
Abe menyatakan, di balik efisiensi waktu, tenaga kerja, dan biaya tentu akan berdampak pada pergeseran interaksi dan komunikasi yang baru dan dapat mendatangkan perubahan pada perilaku dan pergaulan warga negara.
”Dengan kata lain, era revolusi 4.0 berdampak pada semakin berkembangnya teknologi dan semakin berkurangnya intensitas pertemuan manusia,” jelas Abe.
Sedangkan cyberculture, lanjut Abe, merupakan suguhan internet yang telah menjelma menjadi ruang maya. Dalam cyberculture masyarakat berinteraksi antar individu, kelompok, hingga komunitas masyarakat yang dilakukan melalui forum, newsgroup, dan chats.
”Cyberculture adalah segala budaya yang telah atau sedang muncul dari penggunaan jaringan internet untuk komunikasi, hiburan, dan bisnis menjadi ruang virtual,” jelas Abe.
Dalam paparannya Abe juga menyatakan internet merupakan jaringan nirkabel terbesar di dunia. Dengan menggunakan internet, yang global dan tak terbatas, kita bisa mengetahui kondisi pada belahan bumi mana pun hanya dengan gawai (notebook dan ponsel).
”Tapi seperti yang lain, jika tidak digunakan secara bijak maka internet akan berakibat buruk bagi kita,” tegas Abe.
Sementara itu, pengajar Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Desyanti Suka Asih dalam paparannya berbicara tentang hak cipta. Ia mengutip UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata, tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
”Ciptaan yang dilindungi meliputi bidang ilmu pengetahuan, seni, sastra: karya foto, karya film, program komputer, permainan video/game, buku, lagu/musik, karya seni batik, lukisan dan lain sebagainya,” ujar Desyanti.
Pada kesempatan itu, Destiyanti juga menyebutkan mengapa perlu adanya perlindungan terhadap karya intelektual, karena karya intelektual merupakan hak-hak alami.
Berdasarkan ketentuan pasal 27 (2) Deklarasi Hak Asasi Manusia, lanjut Desyanti: ”Setiap orang memiliki hak untuk mendapat perlindungan (untuk kepentingan moral dan materi) yang diperoleh dari ciptaan ilmiah, kesusasteraan, atau artistik dalam hal dia sebagai pencipta,” jelasnya.