Dalam perpektif kebudayaan, ada yang salah dimengerti publik. Tidak semua proses digitalisasi karya-karya budaya adalah bentuk kemajuan budaya. Selama pandemi, memang banyak seniman puisi dan beragam karya seni panggung yang mendigitalkan karyanya di dunia maya secara virtual.
”Banyak seniman animasi yang memasarkan karyanya secara virtual untuk merambah pasar dan pengin berkembang maju. Saya setuju dan endak masalah kan itu?” ujar budayawan dan seniman Hamdy Salad, saat tampil sebagai pembicara dalam Webinar Literasi Digital yang diselenggarakan Kementerian Kominfo untuk wilayah Kabupaten Pekalongan, 23 Juni lalu.
Hanya saja, Hamdy berpandangan, tidak semua proses budaya bisa didigitalisasikan. Budaya gotong royong khas Indonesia, proses rahasia penciptaan seni tari tradisional, dan beragam karya tradisi khas Indonesia tidak bisa dan tidak perlu digitalisasikan.
”Saya sudah paham, semua karya teknologi digital itu otaknya yang isi tetap manusia yang beragenda. Jangan kita niat mempertahankan budaya, tapi ciri jatidiri bangsa malah digilas globalisasi. Kerja kita sekarang mestinya dengan perangkat digital yang ada melakukan kerja glokalisasi,” tutur Hamdy Salad.
Lewat glokalisasi, Hamdy berpikir, bagaimana dengan perangkat digital kita membuat bangsa-bangsa di Amerika, Eropa, Jepang, Korea makin mencintai gamelan dan beragam tarian Jawa atau Reog Jawa Timuran yang mestinya makin mendunia. ”Kita bikin budaya lokal yang mendunia. Bukan budaya kita yang digerus budaya global dunia. Di situ mestinya posisi kerja budaya kita di era digital saat ini,” kata Hamdy dalam webinar bertajuk ”Ketahanan Budaya dalam Transformasi Digital”.
Hamdy tampil dimoderatori presenter Nabila Nadjib, bersama Dr. Waryani Fajar (dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Ahmad Nasir (direktur Dot Studio Jogja), Fadjarini Sulistyowati (dosen STPMD APMD Jogja) dan Suci Patia, author yang tampil sebagai key opinion leader.
Dalam pandangan Waryani Fadjar dari UIN Sunan Kalijaga, ketahanan budaya sebagai sub-sistem dari ketahanan nasional kini terancam jebol melawan ancaman budaya media yang serba digital dan bersifat borderless, tanpa batas wilayah. Terkait itu, menurut Waryani, benteng pertahanan terkecil ada di keluarga.
Di saat pandemi, lanjut Waryani, anak dan istri secara fisik setiap saat ada di rumah. Tapi ketika anak dan istri masuk kamar, kita tak bisa kontrol dan anak biasanya susah didampingi. Sehingga, kita tidak tahu apa yang diakses dari handphone-nya, apa yang dia serap sebagai asupan budaya dan wawasan yang keseharian berisiko mengganggu wawasan budayanya.
”Itu sebabnya, acara seperti webinar literasi cakap digital ini menjadi salah satu asupan wawasan penting untuk membuat anak remaja, juga orangtua yang mengikuti webinar ini, punya benteng wawasan penting untuk menanggulangi kekhawatiran itu,” tambah Waryani.
Di mata Waryani, Revolusi Industri 4.0 di satu sisi menginginkan globalisasi. Tapi karena dihantam pandemi, kini menciptakan iklim deglobalisasi yang menguatkan aspek lokal. Namun, kedua ideologi budaya tersebut dipertemukan dengan digitalisasi untuk bisa ketemu di ranah bisnis dan beragam interaksi orang lokal ke dunia global ya mesti lewat digital.
Tapi jujur, disadari atau tidak, pandemi bukan hanya lama menghantam ketahanan budaya kita, tapi pelan-pelan menghantam peradaban bangsa ini. So, kunci ketahanan semua adalah ketahanan jatidiri pribadi dan bangsa menghadapi gempuran ujian covid ini.
”Semoga tak berlangsung lama dan kita bisa segera memulihkan kembali budaya yang digempur cukup parah, dilanjut dengan menatanya kembali. Salah satunya dengan mengikuti kegiatan semacam webinar seperti ini untuk memperkuat jatidiri warga dengan kecakapan literasi digital,” tutup Waryani. (*)