Sejak didirikan oleh founding fathers kita 76 tahun silam, Indonesia dalam jagad netizen sering disebut sebagai negara +62, sebuah negara yang multikultural. Banyak ragam suku bangsa yang tersebar di belasan ribu pulau dengan 716 bahasa daerah dan enam agama resmi. Masuk akal kalau kemudian bangsa ini bertemu era digital yang menyajikan beragam platform medsos, yang menjadi saluran untuk semakin bebas menyampaikan aspirasi dan pendapat di ruang publik.
Apalagi, riset dari banyak lembaga menyebut dari 274,9 juta populasi penduduknya berdasar data sensus BPS 2020, rupanya 202 juta warganya terakses internet dan 170 juta aktif mengakses medsos, bahkan menghabiskan 3,5 jam bermedsos dan 8,5 jam berinteraksi internet. Intinya, makin ramai dunia digital Indonesia dengan segala polah tingkah warganya. Soalnya, apakah warganet kita sudah bijak dalam memanfaatkan ruang digital secara bebas dan bertanggung jawab?
Salah satu ciri negara kita yang berpaham demokratis, selain toleransi pada pendapat dan aspirasi orang, kepercayaan yang berbeda, juga kalau ada masalah hukum tidak main hakim sendiri. Dan, yang terpenting, kalau menyampaikan pendapat di ruang nyata atau ruang digital juga bertanggung jawab.
”Nah, dalam etika digital, semua komen dan postingan kita yang menimbulkan ketidaknyamanan dan sakit hati orang, mesti kita pertanggungjawabkan. Karena, etika dan sanksi hukumnya sama. Di ruang digital terhadap ujaran kebencian (hate speech) dan hoaks sudah disebut ancamannya di UU ITE No. 19 tahun 2016 buat pelakunya di pasal 28 ayat 1 tentang Hoaks dan ayat 2 tentang Hate Speech. Sangsi terhadap pelakunya bisa didenda maksimal Rp 1 miliar dan kurungan penjara maks. 6 tahun. Itu nyata lo,” papar Dr. Lintang Ratri Rahmiaji, MSi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, Semarang
Menjadi pembicara dalam webinar literasi digital Indonesia Makin Cakap Digital gelaran Kementrian Kominfo untuk warga Kabupaten Brebes, 11 Oktober lalu, Lintang menambahkan, bebasnya netizen kita sudah tak termungkiri dari beragam aksi mereka di medsos. Makanya, kita sempat dihadiahi riset Microsoft yang menyebut netizen kita paling tidak sopan rangking 29 dari 32 negara yang diriset, dan di Asia Tenggara nomor satu.
”Banyak kasus ujaran kebencian yang mengantar pelakunya merasakan ujian di penjara, karena harus menebus ucapannya di medsos. Kita ingat, belum lama musisi Jerinx SID dari Bali yang menuduh IDI jadi jongos WHO, dan memicu tuntutan dari IDI Bali. Jerinx harus menjalani penjara. Juga di Jogja, ada Florence Sihombing yang membela kakaknya ogah antre beli pertamax di jalur motor, lalu memuntahkan sumpah serapah ke warga Jogja, bukan ke Pertamina. Hal itu juga memicu amarah warga Jogja dan Florence diundang ke kantor polisi untuk mempertangungjawabkan statusnya di Path,” ujar Lintang Ratri, yang juga pegiat Japelidi dan Ketua Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Jateng itu.
Lintang tak sendiri mengupas diskusi virtual yang bertema ”Bijak dan Arif Manfaatkan Ruang Diskusi Publik di Era Digital”, yang diikuti ratusan warga Brebes. Dipandu moderator presenter Amel Sannie dan Gloria Vincentia sebagai key opinion leader, hadir pula tiga pembicara lain. Masing-masing, Muhamad Yusuf, Ari Ujianto, pegiat Literasi Komunitas Sosial, dan Zahid Asmara, seorang pembuat film dan kreator konten.
Zahid Asmara menambahkan, makin serunya rimba belantara digital kita saat ini, membuat semakin liar perilaku warganya. ”Kunci survive dan aman adalah tetap fokus: kita mau apa di ruang digital. Jaga netiket dan produksi yang bermaanfaat di ruang digital. Jangan buat konten negatif yang akan mengundang masalah hukum dan membikin masalah di dunia nyata,” ujar Zahid. Lintang Ratri juga mengunci dengan pesan, ”Kalau ketemu informasi yang belum valid dan akurat, sabar dulu sebelum sebar. Dan bagusnya, berbudaya untuk hanya sebar yang bikin orang lain tambah sabar. Dengan begitu kita tetap aman nyaman di ruang digital,” kata Lintang, memungkas diskusi.