Sabtu, Desember 28, 2024

Beraktivitas di dunia digital, konsekuensi dan tanggung jawab harus dipahami

Must read

Menurut riset Microsoft pada 2020, warganet Indonesia menempati peringkat 29 dari 32 negara di dunia dan peringkat terbawah di ASEAN dalam hal indeks kesopanan atau civility index. Padahal internation.org pada 2019 menempatkan Indonesia di peringkat ke-8 dari 46 sebagai negara paling ramah di dunia.

Hal itu dikatakan oleh Content Writer Kaliopak.com, Luqman Hakim, dalam webinar literasi digital dengan tema ”Pentingnya Pendidikan Karakter di Era Digital” yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Debindo untuk warga Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Senin (18/10/2021).

Luqman mengungkapkan adanya perbedaan itu karena warganet di Indonesia rentan ter-deindividuasi, yaitu keadaan hilangnya kesadaran akan diri sendiri dan penahanan evaluatif terhadap diri sendiri, dalam situasi kelompok yang memungkinkan anonimitas dan mengalihkan atau menjauhkan pengawasan dari individu.

Luqman mengatakan, menjadi warganet perlu tetap berbudaya. Ia menyebut pengguna harus memahami cara kerja ruang digital. “Ruang digital memiliki cara kerja yang berbasis kecerdasan buatan. Sebagai pengguna, kita harus memahami cara kerja ruang digital agar tidak terjebak dan tersesat di dalamnya,” kata dia.

Pengguna digital juga harus bisa mengenali macam-macam konten negatif, yang meliputi kekerasan, permusuhan atau SARA, penyesatan agama, berita bohong, pornografi, perjudian atau spekulasi keuangan, serta anti sains.

Luqman menegaskan, pengguna harus bijak setiap kali bertindak di ruang digital. Menurutnya dunia digital memungkinkan pengguna bebas berekspresi, namun juga harus mengetahui konsekuensi dan ancamannya.

“Maka kesadaran, kedewasaan, dan tanggung jawab harus menjadi sensor yang ampuh. Jangan sampai jadi penikmat konten negatif apalagi jadi produsennya,” tuturnya.

Sementara, narasumber lainnya, Fasilitator Komunitas Ari Ujianto mengatakan pentingnya pendidikan karakter di era digital. Pengguna harus memahami mengenai apa yang dimaksud dengan literasi digital.

“Literasi digital berupa kemampuan untuk menggunakan alat digital untuk merancang dan membuat konten asli yang menarik, untuk mengakses, menggunakan, dan berbagi informasi,” ujarnya.

Dengan literasi digital diharapkan mampu untuk berpikir kritis, mempertanyakan seberapa otentik, valid, dan bermanfaatnya informasi digital. Di samping, tentunya mampu berkomunikasi dan berkolaborasi dengan orang lain di ruang digtal.

“Jadi literasi digital merupakan sebuah konsep dan praktik yang bukan sekedar menitikberatkan pada kecakapan untuk menguasasi teknologi. Lebih dari itu, literasi digital juga banyak menekankan pada kecakapan pengguna media digital dalam melakukan orientasi mediasi media digital yang dilakukan secara produktif,” ujarnya.

Menurutnya, salah satu bentuk literasi digital adalah berinternet secara sehat dengan memahami keamanan digital bagi anak. Adapun aspek ancaman keselamatan anak di dunia digital yakni perundungan, perdagangan orang, pencurian data pribadi, pelecehan seksual dan pornografi, penipuan, kekerasan, serta kecanduan.

“Untuk mencegah dan mengatasi ancaman keselamatan anak melalui media digital yaitu mengembangkan kreativitas melalui pengalaman bermedia digital, melakukan kolaborasi, dan mengajarkan berpikir kritis,” ucapnya. Dipandu moderator Anneke Liu, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Sunoto (Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah III), Novita Sari (Aktivis Pemuda Lintas Iman), dan seorang Data Analyst Ken Fahriza, selaku key opinion leader.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article