Era digital dengan media sosialnya ditandai kekacauan komunikasi digital tuna etika. Poduksi kata-kata, gambar, audio, video, grafis, meme, benar-benar menciptakan budaya baru yang jauh dari tata sopan santun dan etika hidup keseharian.
”Butuh etika digital agar informasi terpercaya sehingga tercipta ekosistem komunikasi sehat jauh dari radikalisme, hoaks, dan fitnah,” ujar Muhammad Achadi saat menjadi narasumber webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin (25/10/2021).
Dalam webinar bertajuk ”Lindungi Diri di Dunia Digital”, CEO Jaring Pasar Nusantara itu menyatakan, kekacauan kumunikasi itu berawal dari membanjirnya informasi akibat setiap orang bebas memproduksi informasi tanpa ada aturan (kode etik). Bermodalkan gawai di tangan, setiap orang bebas membuat informasi secara instan, anonim, dan tanpa pelatihan profesional layaknya sebagai jurnalis.
Akibatnya bisa diduga, ruang digital (media sosial) banjir informasi yang positif dan yang negatif bercampur jadi satu. Sumber berita didapatkan dan diolah tanpa standar profesional yang mengutamakan kepercayaan personal (the most trusted personal). Kecepatan yang mengabaikan koreksi dan verifikasi.
”Jika salah, akan muncul berita susulan. Meski kesalahan tetap menjadi jejak digital dan tidak selalu mudah untuk dihapuskan. Corak konflik dan partisan mewarnainya, dengan mengutamakan interaksi di ruang komentar yang seringkali lebih seru dibanding beritanya,” tutur Muhammad Achadi kepada 200-an partisipan webinar.
Muchamad Achadi menyebut kekacauan semacam itu sebagai sebuah ironi media sosial. Karena tuntunan telah jadi tontonan, dan tontonan telah jadi tuntunan. ”Apapun, lindungi diri dari kekacauan media sosial dengan etika digital. Banjiri media sosial dengan informasi yang positif dan jernihkan media sosial dengan menegakkan etika sebagai tanggung jawab kita semua,” tegas Muhammad Achadi.
Narasumber lain pada webinar ini, Content Writer Kaliopak.com Luqman Hakim Bruno menyatakan, perkembangan teknologi digital yang sangat pesat mempengaruhi tatanan prilaku masyarakat. Pola lama dalam interaksi sosial turut terpengaruh dan pada titik tertentu mengaburkan batasan-batasan dan norma sosial. ”Inilah realitas ruang digital kita saat ini,” ujarnya.
Untuk mengambalikan tatanan dan taat norma, Luqman Hakim mengajak pengguna digital menjadi warganet yang berbudaya. Yakni dengan cara menjunjung sikap positif dan terbuka terhadap orang lain, menjaga kesadaran dan nilai kemanuisaan, memperteguh komitmen kedaulatan bangsa dan negara, serta integritas dan keselarasan diri.
”Warganet yang berbudaya akan menjaga kesehatan ruang digital. Menghindari konten negatif seperti kekerasan, permusuhan SARA, penyesatan agama, hoaks, pornografi, perjudian dan spekulasi keuangan, dan anti sains, untuk kesehatan ruang digital kita,” papar Luqman Hakim.
Luqman Hakim menambahkan, untuk menilai validitas informasi dalam konten bisa dilakukan dengan memahami detail konten (teks, visual, situs/akun), cek fakta dan sumber, identifikasi ketidakberesan sosial, keberimbangan informasi, dan kebermanfaatan.
”Kendalikan ruang digital dengan hal-hal positif, atau kita yang akan dikendalikan olehnya!” tegas Luqman Hakim menutup paparan. Dipandu moderator presenter Bia Nabila, webinar kali ini juga menghadirkan Zusdi F. Arianto (Ketua Yayasan Quranesia Amrina Rasyada), Zainuddin Muda Z Monggilo (Dosen Ilmu Komunikasi UGM), dan Grand Finalis The New L-Men of The Year 2020 Gusto Lumbanbatu selaku key opinion leader.