Kamis, November 28, 2024

Kebebasan berekspresi di dunia digital, ingat jejak digital

Must read

Ada dua aturan utama ketika berada di ruang digital menggunakan sosial media. Pertama, jika tidak dapat mengatakan di depan wajah seseorang di tempat umum, maka jangan katakan secara online. Kedua, jangan mengandalkan privacy setting, karena siapa pun yang dapat melihat konten Anda dapat menyalinnya (mengkopi), men-screenshot, lalu membagikannya kepada publik.

Dua aturan utama (two golden rules) itu disampaikan oleh Indri Dwi Apriliyanti saat menjadi narasumber webinar literasi digital bertajuk ”Kebebasan Berekspresi di Dunia Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Selasa (26/10/2021).

Dalam diskusi virtual yang diikuti oleh seratusan peserta itu, pengajar Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol Universitas Gadjah Mada itu, mengingatkan adanya footprint atau jejak digital berupa data catatan publik yang ditinggalkan manakala beraktivitas di dunia digital.

”Jejak itu berupa apa yang Anda katakan (what you said), apa yang dikatakan tentang Anda (what people said about you), apa yang Anda suka (like), retweet, atau bagikan (share), dan di mana Anda berada atau pernah berada (where you are or where you have been),” ujar peraih gelar Ph.D dari Universitas Agder Norwegia itu.

Meski begitu, lanjut Indri, sesungguhnya media sosial telah menyediakan fasilitas berupa pedoman komunitas untuk membatasi kebebasan berekspresi warganet demi menciptakan rasa aman dan nyaman bermedia sosial, seperti yang bisa ditemukan pada platform sosial media Facebook, Instagram, Youtube, dan media sosial lain.

”Pedoman pengaturan itu dapat membatasi konten seksual atau ketelanjangan, konten yang merugikan atau berbahaya, mengandung kebencian, kekerasan atau vulgar, pelecehan dan cyber bullying, spam, ancaman, pelanggaran hak cipta, pelanggaran privasi, keselamatan anak, pencurian identitas, maupun kebijakan lainnya,” sebut Indri Dwi Apriliyanti.

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Agar aman dan nyaman bermedia sosial, maka perlu mengecek pengaturan privasi (privacy setting). Kemudian, jangan menerima pertemanan dari orang asing/second account/tidak memiliki rekam jejak yang baik, jangan membagikan data pribadi, dan ganti password secara berkala.

Apabila hoaks disebarkan oleh keluarga apalagi orang yang lebih tua, Indri memberi saran untuk mencoba menyampaikan persoalan tanpa emosi, jangan menyerang pribadi, coba dengarkan dengan baik apa yang dia sampaikan, tetap menghormati mereka, dan jangan sok tahu.

”Yang bisa kita lakukan reflect before you post, berkomitmen untuk menyebarkan berita yang akurat dan benar (cek keakuratan, verifikasi data, cek bias pribadi). Dan apabila itu berupa hoaks, maka laporkan. Buatlah interaksi yang baik dengan cara show respect and being peaceful,” tutup Indri.

Direktur Buku Langgar Abdul Rohman menyambung diskusi dengan menyebut pentingnya kebebasan berekspresi sebagai cara untuk menjamin pemenuhan diri, mencapai potensi maksimal, dan pencarian kebenaran dan pengetahuan.

”Kebebasan berekspresi juga penting dalam proses pengambilan keputusan, khususnya politik. Karena kebebasan berekspresi memungkinkan masyarakat dan negara bisa saling terhubung dan terakomodasi,” terang Abdul Rohman.

Meski begitu, lanjut Abdul Rohman, ada batasan berekspresi di media sosial. Utamanya jika hal itu terkait dengan isu agama, suku bangsa, ras, antar golongan, gender, dan seksualitas, maka tentu ada aturan dan pembatasnya. Karena isu-isu sensitif tersebut bisa memicu perpecahan dan kegaduhan di dunia digital.

”Sikap yang mesti dikembangkan saat memasuki dunia digital adalah terbuka, jujur, adil, bertanggung Jawab, dan arif bijaksana, berpegang pada dasar negara Pancasila dan Buneka Tunggal Ika,” urai Abdul Rohman.

Abdul Rohman menambahkan, saling merasakan, menghormati, dan menghargai di media sosial adalah esensi budaya yang harus kita suarakan di dunia digital. Begitu juga selalu berpijak pada nilai-nilai leluhur dan budaya kita sendiri dalam berkebudayan secara digital.

Dipandu moderator Yade Hanifa, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Mohammad Adnan (CEO Viewture Creative Solution), Sumedi (Praktisi Pengembangan Website), dan Nanda Candra selaku key opinion leader.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article