Keamanan digital menjadi pilar membangun generasi yang bijak dan bertanggung jawab pada ruang digital. “Selain sebagai bentuk mengamankan diri pada ruang digital, keamanan digital juga menjadi stimulus agar tidak melakukan tindak kejahatan digital,” kata etnomusikolog Madha Soentoro saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Memperkuat Kepribadian dan Kebudayaan Nasional dalam Ruang Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Senin (25/10/2021).
Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Madha mengatakan, dalam keamanan digital butuh tools. Misalnya untuk membuat password yang aman dan kuat kita selalu diingatkan untuk memperkuat password yang kita pakai. “Namun nyatanya hingga hari ini nasihat soal password ini sering diabaikan, sehingga masih banyak kasus pembobolan akun dan penyalahgunakan akun pada banyak platform digital,” kata dia.
Menurut Madha, kejahatan semacam ini bisa dihindari melalui layanan aplikasi yang mempermudah integrasi. Adapun akses aplikasi yang menyediakan otentifikasi lapis kedua dan ketiga bagi perusahaan atau proses yang lebih rumit lagi bagi penggunanya.
“Setelah memiliki password yang unik dan kuat untuk setiap layanan, kita harus berpikir juga bagaimana cara mengamankan password tersebut,” kata dia. Untungnya, ada sebuah layanan password manager. Sehingga dalam tercipta dan bertindak sebagai penjaga gambar digital yakni mengisikan info login ketika hendak masuk ke situs resmi dan tak perlu mencari password.
“Lewat password manager ini, Anda tak perlu lagi mengingat password rumit, dengan berbagai layanan yang memungkinkan kita cukup menyimpan password di komputer atau cloud,” kata dia. Jadi pengguna hanya perlu mengingat satu password utama yaitu master password.
Madha mengatakan pentingnya perhatikan jejak digital. Sebab jika masih terhubung ke beberapa layanan web maka kemungkinan besar sudah menumpuk jejak digital dalam jumlah besar. Mulai mesin pencari hingga browser di ponsel.
Kebijakan penyimpanan data, lanjut Madha, bisa membuat pengguna selama bertahun-tahun merasa frustasi sebelum mengklik tombol yang ada. Jadi sebaiknya membaca berbagai klausul dari penyedia layanan internet yang hendak kita gunakan.
Madha mengatakan tak seperti generasi milenial atau sebelumnya, generasi Z adalah penduduk digital sejati. Karena mereka hanya mengenal dunia lewat layar sentuh, media sosial dan artinya generasi ini juga akan terbiasa dengan pembobolan keamanan cyber.
“Yang paling mengkhawatirkan adalah munculnya sikap tidak peka atau apatis terhadap masalah privasi akibat eksposur yang terlalu banyak,” kata dia. Menurutnya di era ketika orang berbagi data secara berlebihan dan pembobolan makin marak, privasi sudah sangat terancam.
Narasumber lain webinar itu, Mohammad Adnan dari Viewture Creative Solution mengatakan polarisasi algoritma-algoritma ruang digital akhirnya menciptakan sebuah gelombang besar atau filter bubble yang membuat seseorang terisolasi secara intelektual.
“Dampak buruk filter bubble itu membentuk pribadi ignorant, terjebak dalam satu sudut pandang saja dan menciptakan efek konsensus yang salah karena orang cenderung hanya membaca judul tanpa membaca konten dan lebih mempercayai hoaks,” kata dia.
Untuk melawannya Adnan mengatakan perlunya memahami nilai Pancasila sebagai landasan kecakapan digital. “Nilai Pancasila itu bisa dituangkan dengan cara membuat konten kreatif yang positif, kenali produk atau branding, riset, dan sinergi karakter dengan hasil riset kreasi dan modifikasi konten,” kata dia.
Webinar itu juga menghadirkan narasumber dosen Universitas Slamet Riyadi Surakarta Suparto, Ketua KPU Jateng Yulianto Sudrajat, serta dimoderatori Fikri Hadil serta Gloria Vincent selaku key opinion leader.