Bagaimana sosok yang mesti dipilih sebagai Capres dan Cawapres 2024? Yang pasti, tantangannya jelas berbeda dengan era Jokowi saat ini. Untuk menjawabnya, Indonesian Presidential Studies (IPS) pada April 2021 menyurvei 1.200 reponden, dan menjawab berapa kriteria persyaratan itu yang dominan dijawab.
Pertama, presiden mendatang adalah dia yang jago dan mampu mengatasi berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa, 50,6 persen. Kedua, perhatian pada masyarakat, peduli dan merakyat, 17,2 persen. Model gaya kepemimpinan yang diterima masyarakat luas, 8,7 persen, dan punya integritas moral, jujur, 6,4 persen, serta terakhir pintar dan berkualitas, 5,8 persen.
Intinya, papar Nyarwi Ahmad, Direktur Eksekutif IPS, presiden ke depan butuh kecakapan ganda. Kompetensi dalam bidang ilmu dan problem solver mampu mengatasi beragam masalah bangsa yang makin complicated dan tentu adaptif terhadap kemajuan teknologi perkembangan digital.
”Ini sudah tak bisa ditawar lagi, dua kompetensi itu memang yang akan jadi tantangan Indonesia di masa datang. Makanya pemimpinya harus sosok yang mampu menjawab tantangan tersebut secara komprehensif, apa pun latar belakangnya, kompetensi itu yang jadi tantangan masa depannya,” kata Nyarwi, saat berbicara dalam Webinar Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk warga Kabupaten Cilacap, Jateng, 25 Oktober 2021.
Sebenarnya sejak dari dulu, pemimpin kita yang tampil memimpin memang sudah disiapkan untuk mampu menjadi problem solver dan adaptif pada perkembangan zamannya. Soekarno adalah anak muda cerdas yang diajar oleh guru-guru hebat. HOS Cokroaminoto salah satu gurunya yang visioner dari Surabaya. Juga, Hamengkubuwono yang mudanya dipanggil Hengky, nyantri ke orang Belanda, belajar beragam ilmu modern ketatanegaraan. Juga Habibie muda, belajar ilmu pesawat melebihi orang muda zamannya ke Jerman dan menjadi profesor pesawat yang diperhitungkan dunia.
”Jadi, sekarang pun pemimpin mesti punya diferensiasi kecakapan, yang bukan semata digital, tapi kecakapan problem solvernya yang semakin dituntut ke depan. Teknologi hanya tool untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya,” papar Nyarwi lebih detail.
Mengupas topik ”Transformasi Digital untuk Pendidikan yang Lebih Bermutu”, diskusi virtual kali ini diikuti ratusan peserta lintas generasi dan profesi. Dibuka dengan pengantar key note speech Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo dan Kakanwil Kemenag Jateng, H. Mustain Ahmad.
Nyarwi Ahmad tak tampil sendiri. Dipandu moderator Mafin Risqi, serta Aprilia Ariesta, kreator konten yang tampil sebagai key opinion leader, tampil juga tiga pembicara lain: Eddie Siregar, penggiat 4 Pilar Kebangsaan; Muh Arif Hanafi, Kasi Pai Paud, Kanwil Kemenag Jateng; serta Moch Muizudin, Kasi Sub Koordinator Sistem Informasi Bidang PAI Kanwil Kemenag Jateng.
Menurut Eddi Siregar, menilik keras dan ketatnya persaingan dan tantangan pemimpin masa depan, maka guru dan pendidik masa depan mesti jago. Bukan hanya kompeten menguasai ilmu pengetahuan yang lebih komprehensif, tapi juga mampu mengajarkan pada murid di kelas digital. Bagaimana pesan mesti dibuat, riset dan akurasi, sifat pesannya, cara penyebaran pesan dan dampak pesannya.
Di era digital, lanjut mantan Sekjen MPR RI ini, keempat hal tadi sangat berdampak luas pada masyarakat. Kunci dari keempat kecakapan komunikasi publik adalah akurasi informasi dan akuntabilitas informasinya, agar saat disebar dengan cara apa pun berdampak positif dan bermanfaat buat masyarakat. Bukan malah membuat keonaran. ”Selama positif dan aspiratif, maka pesan itu bakal diterima dan didukung masyarakat. Kecakapan itu mesti diajarkan oleh guru yang bijak kepada siswa yang cerdas untuk melahirkan pemimpin yang visioner dan problem solver,” pungkas Eddie Siregar.