Ada berbagai macam penyebab potensi munculnya sikap-sikap intoleransi dalam media sosial. “Antara lain, kurang meleknya literasi media pengguna, sehingga menyebabkan pengguna tidak bijak dalam bermedia sosial, di samping akibat banyaknya konten hoaks yang tersebar dengan cepat,” kata pegiat literasi Pojok Rumi Kartika Nur Rahman saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Toleransi di Media Sosial untuk Indonesia Hebat” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Selasa (26/10/2021).
Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Kartika juga membeberkan penyebab lain pemicu intoleransi di media sosial bisa karena tingginya primordialisme di pengguna media sosial. “Sifat individualisme dan fanatisme yang tinggi serta platform media sosial yang tidak memberikan kebijakan yang layak terkait konten intoleransi juga ikut memicu keadaan itu,” kata dia.
Kartika menyoroti penyebaran paham ekstrem yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu juga bisa mempengaruhi intoleransi di ruang maya itu. “Padahal ada banyak bahaya intoleransi dalam penggunaan media sosial, mulai dari potensi perpecahan bangsa yang terjadi hingga konflik sosial,” kata dia.
Sikap intoleransi di media sosial bisa dipicu karena ekonomi, status sosial, ras, suku, agama dan kebudayaan. Fanatisme kelompok akan mendorong konflik antar kelompok suku atau agama akibat sikap primordialisme yang akut.
“Terhambatnya kebijakan pemerintah bisa memicu intoleran semakin tinggi, pun menyebarnya paham ekstrem yang dapat membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.
Oleh sebab itu, penanganan toleransi dalam penggunaan media sosial penting demi menghindari konflik dan perpecahan serta meningkatkan rasa persahabatan antara pengguna media sosial juga meningkatkan rasa nasionalisme serta memperkaya pengetahuan dan perspektif.
“Ada berbagai cara membudayakan toleransi dalam media sosial,” kata dia. Dimulai dari memperbanyak konten-konten media sosial yang mengajak pada nilai-nilai toleransi, membuat konten yang menjelaskan fakta pada suatu konten hoaks yang tersebar, serta membentuk jaringan masyarakat digital yang menjunjung nilai-nilai toleransi.
“Kita juga bisa mendorong platform media sosial untuk memperhatikan konten-konten intoleran serta mendorong pemerintah untuk terus melakukan edukasi terkait toleransi dalam bermedia sosial kepada masyarakat,” kata dia.
Kartika menyebut perlu dipahaminya karakter media sosial itu. Yakni adanya network antar komputer pengguna, terbentuknya interaksi antar anggota dalam jaringan informasi akan menjadi komoditas berharga dan munculnya simulasi sosial seperti anonimitas identitas pengguna.
Narasumber lain, penulis konten Jaring Pasar Nusantara Murniandhany Ayusari menyebut bertoleransi penting saat berinternet. “Karena pengguna internet berasal dari berbagai negara yang memiliki budaya, bahasa, adat istiadat yang berbeda,” kata dia. Selain itu pengguna internet tidak diwajibkan untuk menggunakan identitas asli dalam berinteraksi.
“Berbagai macam fitur dalam internet memungkinkan seseorang untuk bertindak tidak etis. Dan harus diperhatikan para pengguna internet akan selalu bertambah setiap saat,” kata dia. Webinar yang dimoderatori Fikri Hadil itu juga menghadirkan narasumber dosen UGM Novi Kurnia, andalan humas dan protokol Purbalingga Ginanjar Noviana, serta Jeje Garnita selaku key opinion leader.