Dunia saat ini tidak hanya dikepung oleh globalisasi, tetapi juga oleh efek revolusi industri 4.0 yang menghilangkan sekat ruang dan waktu atau borderless world. Sebagai bagian dari masyarakat digital, harus mempersiapkan diri menghadapi transformasi dan disrupsi besar-besaran ini. Hal ini dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dengan tema diskusi “Menjadi Masyarakat Digital yang Cerdas”, Sabtu (30/10/2021).
Diskusi dipandu oleh Ayu Perwari (penari tradisional) dan diisi oleh empat narasumber: Mustaghfiroh Rahayu (dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Ibnu Novel Hafidz (creative entrepreneur), M. Nur Arifin (peneliti dan antropolog), Nofica Andriyanti (dosen Universitas NU Yogyakarta), serta Cyntia Ardila YM (musisi) sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber membahas tema diskusi dari perspektif empat pilar literasi digital, digital ethics, digital skills, digital safety, digital culture.
Mustaghfiroh Rahayu menjelaskan, menjadi masyarakat digital itu harus memiliki kecakapan literasi digital, menggunakan teknologi dengan efektif untuk mencapai tujuan. Salah satunya dalam berselancar di ruang igital adalah mampu bermedia dengan aman. Yaitu mampu mengenali, mempolakan, menerapkan, menganalisis, dan meningkatkan kesadaran keamanan digital.
Aspek keamanan tidak hanya aman dari segi perangkatnya, dalam artian tahu dan paham konsep dan mekanisme proteksi digital, tapi juga bagaimana dapat berperilaku rendah risiko.
“Bicara keamanan digital itu juga terkait pengetahuan untuk memproteksi identitas digital dan data pribadi. Tahu mengenai penipuan digital, memahami rekam jejak digital, dan minor safety. Keamanan digital itu berhubungan dengan individu dalam meningkatkan kewaspadaan, meningkatkan kesadaran dalam berperilaku agar aman dan nyaman,” ujar Mustaghfiroh Rahayu.
Lalu kaitannya dengan keterampilan digital, Nofica Andriyanti menambahkan bahwa media sosial menjadi salah satu platform digital yang banyak diakses oleh pengguna teknologi. Keberadaan media sosial turut menggeser cara berdemokrasi dan menyampaikan aspirasi. Sebagai warga digital mempunyai kebebasan akses dan memproduksi maupun mendistribusikan informasi.
“Kebebasan tersebut yang menjadi tantangan masyarakat digital, karena harus mampu memilah dan memilih dari sekian banyaknya informasi. Hal ini membutuhkan kecakapan individual untuk mendapatkan informasi yang benar dan bermanfaat,” ucap Nofica.
Ada gangguan informasi di ruang digital, di antaranya adalah misinformasi, disinformasi, malinformasi, serta hoaks yang harus diwaspadai. Informasi hoaks ini yang kemudian mendominasi dan harus diminimalisasi.
“Hoaks biasanya diawali dengan judul yang heboh dan provokatif, konten dan judul tidak memiliki keterkaitan, banyak menggunakan huruf kapital. Ada nama figur publik atau kelompok tertentu yang dicatut sehingga berita tidak berimbang. Dukungan berita tidak dapat dilacak, dan tidak informasi serupa dari diportal informasi arus utama,” ujarnya.
Media digital hendaknya bisa dimanfaatkan sebagai media untuk jurnalisme warga yang membagikan informasi yang terjadi di lingkungan masyarakat, sehingga manfaatnya lebih bisa dirasakan.
M. Nur Arifin menyampaikan bahwa dalam bermedia, baik ketika menyampaikan informasi, berkomunikasi, atau interaksi lain, hendaknya selalu dilandaskan pada etika. Bermedia itu harus mempunyai kesadaran, dengan niat, maksud, dan tujuan yang baik agar yang disampaikan itu berupa kebajikan.
“Kita juga harus punya integritas atau kejujuran dalam menyampaikan informasi, kebebasan di ruang digital memungkinkan orang berbuat tidak etis. Oleh sebab itu, etika bermedia digital juga termasuk tanggung jawab. Yaitu setiap yang kita lakukan memiliki konsekuensi yang harus ditanggung. Ada norma hukum berupa UU ITE, moralitas agama di mana dalam menyampaikan informasi harus mengedepankan tabayyun atau verifikasi terlebih dahulu, dan ada etika tentang etis dan tidak etis perbuatan di ruang digital,” pungkas Nur Arifin.