Mengacu laporan data Hootsuit Januari 2021, dari 274,6 juta populasi penduduk Indonesia, rupanya yang sudah terhubung dengan jaringan internet sebanyak 202 juta. Dan yang menarik juga, tak main-main, mereka menghabiskan waktunya 8,5 jam sehari bersama internet untuk beragam aktivitas medsosnya. Bahkan yang khusus mengakses medsos, setidaknya 3,5 jam sehari.
“Yang perlu diwaspadai, ini lebih menarik, dari 202 juta warga netizen, ternyata 64 persen adalah remaja usia 15 s.d 19 tahun. Usia rentan tersulut informasi yang banjir di medsos tanpa kendali. Ibarat sekam, kalau mereka tak dipandu dan dibimbing dalam mengakses informasi di ruang digital, akan gampang tersulut emosi dan terpengaruh ideologinya. Ini berbahaya,” ujar Dr. Djafar Ahmad, direktur Lembaga Survei Idea Institute Indonesia, saat menjadi pembicara webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kabupaten Brebes, 29 Oktober 2021.
Prihatin dengan ancaman itu, Universitas Islam Negeri Jakarta membuat survei lewat lembaganya Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), mengulas topik dalam laporan “Api Dalam Sekam, tentang Keberagaman Muslim Generasi Z, Survei Nasional Keberagaman Muslim di Sekolah dan Universitas di Indonesia” menemukan fakta bahwa negara berkewajiban mengembangkan pendidikan agama yang toleran, terbuka, dan inklusif.
“Tapi kenyataan kini, ajaran radikalisme dan intoleransi masih terus berkembang di berbagai kalangan. Dan ini berbahaya bagi persatuan dan keragaman Indonesia, juga perkembangan demokrasi,” kata Djafar. Beberapa topik isu keberagaman ditanyakan ke mahasiswa dan siswa, hasilnya?
“Sebanyak 55,5 persen siswa/mahasiswa percaya isu kalau umat Islam dalam posisi terdzalimi, dan 48 persen percaya kalau secara ekonomi kaum non-muslim diuntungkan oleh kebijakan pemerintah, dan 36 persen mereka menuding kaum non-muslim mesti bertanggung jawab terhadap ketimpangan ekonomi Indonesia mutakhir. Yang menarik, soal isu musuh Islam, survei terhadap guru dan dosen di sekolah menyebut setuju kalau orang Kristen bukan musuh orang Islam. Begitu juga siswa percaya hal yang sama 79 persen. Adapun yang dianggap musuh Islam dan membenci Islam adalah kaum Yahudi. Guru/dosen yang setuju hal itu 57,7 persen dan siswa/mahasiswa 53,7 persen,” rinci Djafar.
Isu menarik yang disurvei ke sekolah, setujukah kalau ada umat agama lain membantu sosial pada kegiatan keislaman?
“Guru/dosen yang setuju dan tak keberatan 70,6 persen dan siswa yang setuju juga lumayan 66,3 persen. Terus kalau ada pendirian bangunan rumah ibadat agama lain, setuju tidak? Yang setuju, guru/dosen 34,4 persen dan siswa/mahasiswa 55,01 persen. Artinya, dari ragam pertanyaan survei tersebut, keragaman budaya dan toleransi kita masih cukup terjaga meski gempuran banjir informasi medsos cukup provokatif, tapi rupanya guru dan siswa cukup kritis dan bijak dalam memilah dan memilih informasi itu untuk dicerna,” simpul Djafar .
Mengupas topik “Dampak Pengetahuan Agama Melalui Medsos”, webinar yang dibuka Presiden Jokowi dan keynote speech dari Kakanwil Kemenag Jateng, Mustain Ahmad, itu seluruhnya menghadirkan empat pembicara. Selain Djafar Ahmad, ada Kunthi Muflihah Al Abadiyah, pengawas Madya Kanwil Kemenag Jateng; Siti Nur Hidayati, pengawas PAI Kanwil Kemenag Jateng; dan Yunadi Ramlan, pengamat sejarah dan budaya. Diskusi virtual tersebut dipandu oleh moderator Dhimas Satria dan musisi Nanda Chandra sebagai key opinion leader. Acara diikuti ratusan peserta lintas generasi dan profesi secara daring.
Menyambung diskusi, Yunadi Ramlan dalam paparannya mengatakan, kecakapan digital baik guru, dosen maupun siswa dan mahasiswa tetap wajib terus dirawat dan diperdalam literasinya, agar makin bijak dalam memilah dan memilih informasi yang kian tak terbendung di dunia maya.
“Dengan begitu, sekam populasi remaja kita terjaga tak mudah tersulut api provokasi informasi yang tak akurat dari ruang digital. Dan, kerukunan serta toleransi beragama makin terawat rukun dan damai, baik di dunia maya maupun dunia nyata,” pesan Yunadi, mengunci diskusi.