Hidup di dunia digital dan senantiasa terhubung dengan internet membuat manusia tak pernah ketinggalan arus informasi, akses maupun berkomunikasi cenderung lebih bebas.
”Namun, bebas jangan diartikan tanpa aturan dan etika apalagi lupa norma. Jangan sampai sikap kita dalam berinteraksi justru merepotkan dan membawa kita kepada hal yang tidak baik,” kata praktisi pendidikan Imam Wicaksono saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Menyikapi Kesenjangan Digital Antar Gender dan Kelas Sosial” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Senin (1/11/2021).
Dalam webinar yang diikuti 300-an peserta itu, Imam mengatakan negara Indonesia telah memberi jaminan kebebasan berpendapat, berekspresi, dan menyampaikan ide atau pemikiran. Oleh sebab itu hendaknya kebebasan yang diberikan tersebut bisa digunakan untuk memfasilitasi segala hal positif untuk membangun masa depan bangsa.
”Berkomentar di sosial media hendaknya bijaksana, banyak teman keluarga hingga mitra kerja bisa memantau aktifitas kita. Aplikasi chatting memfasilitasi kita untuk bertemu dengan teman-teman baru maka sikap yang senantiasa positif pasti dibutuhkan,” ujarnya.
Imam mengatakan, di marketplace pun kita juga harus tidak kalah hati-hati. Jangan sampai komentar kita membuat buruk citra positif yang sudah dibangun oleh suatu usaha. Menurutnya, meskipun penggunaan sosial media sudah makin luas, namun sayangnya banyak orang yang belum memahami bagaimana berkomunikasi dengan baik di dunia maya.
”Tidak sedikit pula yang asal berkomentar tanpa memikirkan akibat bagi orang lain yang membacanya,” tutur Iman.
Imam menyarankan saat berkomunikasi, agar menyebut nama lawan bicaranya. Sebab dengan menyebut nama lawan bicara menjadi simbol sebuah penghormatan dan perhatian. Katakan atau tuliskan kembali pesan yang sudah disampaikan sebagai bentuk fokus kita.
”Kesabaran dalam obrolan diwujudkan dengan menjadi penyimak yang baik, santun berbalas pendapat mengindikasikan obrolan berjalan dengan baik,” kata dia.
Imam menambahkan, dunia digital membutuhkan kecakapan menulis. ”Tulis kalimat pendek-pendek. Gunakan kalimat pendek dengan struktur yang jelas agar penerima pesan mudah memahami dan tidak terjadi salah tafsir,” ujarnya. Hal dasar ini sering diabaikan memang terlihat sederhana namun bila tidak diasah justru akan menunjukkan kapasitas pendidikan kita.
Narasumber lain, dosen FISIP Unpar Indraswari mengatakan dalam sebagian kasus kejahatan online seperti penyebaran berita bohong, ujaran kebencian perundungan kekerasan berbasis gender online penipuan online terjadi karena minimnya kompetensi digital.
”Korban biasanya minim dalam hal mengakses, menyeleksi, memahami, menganalisis, memverifikasi dan mengevaluasi informasi di dunia digital yang mengakibatkan mereka terjerat dalam kejahatan tersebut,” katanya
Indraswari mengatakan, institusi negara menyikapi perlu menyikapi kesenjangan literasi ini dari sisi etika digital. Contoh menyediakan bansos perangkat digital dan kuota internet bagi perempuan dan kelompok miskin. Ini dilakukan antara lain di bidang pendidikan melalui program BOS.
”Lalu juga pelatihan literasi digital sudah dilakukan antara lain melalui gerakan nasional literasi digital sehingga perlu ditingkatkan pelatihan yang ditujukan khusus kepada perempuan dan kelompok miskin,” kata Indraswari.
Webinar yang dimoderatori Safiera Al Jufry itu juga menghadirkan narasumber dosen IBN Tegal Syamsul Falah, Princeton Bridge Year On-Site Director Indonesia Sani Widowati, serta Putri Juniawan selaku key opinion leader.