Identitas digital pada dasarnya adalah identitas seorang sebagai pengguna platform media digital yang terbagi dalam dua jenis yakni identitas terlihat dan tidak terlihat.
Demikian diungkapkan Gervando Jeorista Leleng, Co-founder Localin, saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Cerdas dan Bijak Berinternet: Pilah Pilih Sebelum Sebar” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Senin (1/11/2021).
Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Gervando mengatakan ancaman atas identitas digital sudah berulangkali terjadi di berbagai belahan dunia sehingga perlu mendapat perhatian serius.
Ia membeberkan sejumlah contoh. Misalnya yang terkenal salah satunya Skandal Cambridge Analytica yang menyorot tahun 2014 silam terjadi kasus kebocoran data pribadi 87 juta pengguna Facebook, lalu bocornya 530.000 kata sandi dan detil akun aplikasi Zoom pada masa pandemi April 2020, juga isu bocornya 91 juta data pengguna aplikasi lokapasar atau e-commerce Tokopedia pada bulan Juli 2020 lalu.
Gervando mengungkapkan di Indonesia melalui rancangan undang-undang perlindungan data pribadi yang sedang digodog, mendefinisikan bahwa data pribadi sebagai data tentang seseorang yang teridentifikasi atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasikan dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik dan atau non elektronik.
Identitas yang terlihat contohnya nama akun, foto profil pengguna, deskripsi pengguna, atau identitas lain yang tercantum dalam akun. Sedangkan identitas yang tidak terlihat seperti PIN, password, sandi, two factor authentication, OTP dan identitas lain.
Gervando mengimbau agar masyarakat berhati-hati pula pada penipuan daring. Karena penipuan ini memanfaatkan seluruh aplikasi pada platform media internet untuk para korban dengan berbagai modus.
“Padahal pengguna internet di Indonesia yang menggunakan telepon pintar atau smartphone untuk mengakses internet itu mencapai 95,4 persen,” kata Gervando. APJII pun mencatat aktivitas yang paling banyak dilakukan para pengguna internet di Indonesia adalah berinteraksi dengan aplikasi pesan instan sebanyak 29,3 persen dan melalui media sosial 24,7 persen.
“Polri juga menyebutkan terdapat 2.259 laporan terkait penipuan dari manipulasi data pencurian identitas data selama Januari – September 2020,” tambahnya.
Gervando menilai, perlunya pelaporan penipuan digital agar kasus makin dapat ditekan. Misalnya ke kanal patrolisiber.id, lalu melaporkan SMS spam ke badan regulasi telekomunikasi Indonesia (BRTI) dengan cara kirim tangkapan layar ke twitter BRTI atau pengecekan dan pelaporan rekening penipuan dengan cek rekening.id.
Narasumber lain dosen Fisip Unpad Achmad Buchari mengatakan, era digital mendobrak cara pandang konvensional menjadi super digital. ”Perilaku budaya kita masih sering limbung menghadapi perubahan yang begitu sangat cepat ini,” ujarnya.
Buchari menuturkan, kesenjangan yang perlu diantisipasi adalah ketika generasi digital immigrant atau para orangtua yang umumnya lahir sebelum munculnya teknologi digital. Mereka harus bisa beradaptasi dengan munculnya teknologi digital. ”Karena yang dihadapi adalah generasi digital native, individu yang lahir setelah munculnya teknologi digital yang lebih familiar dengan teknologi,” cetusnya.
Sebab, lanjut Buchari, digital native ini bangun tidur dan mau tidur dicari pertama ponsel. Mereka lebih senang baca berita lewat sosmed dan ke mana pun selalu membawa ponsel, bahkan ke kamar mandi. Webinar yang dimoderatori Neshia Sylvia itu juga menghadirkan narasumber Pemred Padasuka TV Yusuf Mars; Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah IX Jateng Dwi Yuliati Mulyaningsih, serta Safira Hasna selaku key opinion leader.