Media sosial dinilai berbagai kalangan kerap menciptakan pribadi yang cenderung anti-sosial, sehingga pertemanan dan jejaring pertemanannya relatif semu. Media sosial menawarkan pertemanan dalam bentuk satu jenis, followers, bukan teman diskusi dan teman sejati.
“Komunikasi di media sosial tidak membangun relasi intersubjektif, melalui tatap muka, jadi perlu seleksi dalam membangun jaringan sosial,” kata pegiat Yayasan Desantara Nurkhoiron saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Kenali Bahaya di Dunia Digital; Jangan Asal Klik di Internet” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Jumat (5/11/2021).
Dalam webinar yang diikuti 300-an peserta itu, Nurkhoiron mengatakan, dalam menjalin relasi jejaring sosial disarankan memprioritaskan mereka yang sudah dikenal dan dipahami track record-nya. ”Gunakan cara komunikasi yang hangat dan beretika dalam berteman dan hindari berpolemik,” ujar Nurkhoiron.
Menurutnya, media digital juga mendorong perilaku konsumtif. Sebab, teknologi media sosial dibentuk untuk tujuan pasar. Di mana pengguna didekatkan dengan barang konsumsi yang paling disukai lalu menciptakan komodifikasi. Maka, perlu berpikir sebelum membeli. “Jangan mudah tergiur dengan bentuk promosi di media sosial. Belilah sesuatu yang benar-benar dibutuhkan,” kata dia.
Selain itu Nurkhoiron mengingatkan, media sosial meningkatkan perpecahan sosial sosial politik. Biasanya terjadi di musim politik. Uang politik beredar, buzer influencer dibayar berkeliaran. Algoritma dimanfaatkan menjadi seolah rumput kering dibakar.
Untuk mengatasinya, usahakan berselancar seperlunya dan kurangi intensitas di masa musim politik. “Usahakan mengunduh dan berjejaring dalam urusan politik yang memang berkaitan dengan kompetensi dan pekerjaan. Hindari polemik yang tidak perlu dan dapat membuat suasana panas atau depresi,” imbuh mantan komisioner Komnas HAM itu.
Masih menurut Nurkhoiron, media digital bisa membuka konten negatif yang melanggar hak pengguna digital. Dalam konten itu biasanya dipakai untuk menipu masyarakat. Memunculkan disinformasi atau informasi yang dikelirukan atau dimanipulasi, memicu misinformasi atau informasi yang ditafsirkan keliru, dan malinformasi atau mengelirukan informasi yang benar.
Narasumber lain webinar itu, Septa Dinata selaku Peneliti Paramadina Public Policy mengatakan pengguna internet Indonesia menjadi peringkat ketiga terbanyak di Asia. “Dengan penggunaan internet di Indonesia sebanyak 202 juta pengguna dengan rata-rata durasi penggunaan 8 jam 56 menit, hendaknya diarahkan ke arah produktif,” kata Septa.
Kondisi ini membuat pentingnya literasi digital dalam mengedukasi pengguna agar memanfaatkan media digital untuk hal-hal berguna dan bermanfaat. Webinar yang dimoderatori Ayu Perwari itu juga menghadirkan narasumber guru Pendidikan Agama Islam (PAI) SDN Tegalombo Yan Vita; pengawas PAI Siti Nurhidayati; serta Vanesa Axelia selaku key opinion leader.