Penanaman tentang literasi digital masih menjadi salah satu fokus dalam membangun masyarakat digital. Dunia pendidikan menjadi sasaran edukasi literasi digital mengingat generasi saat ini akan menjadi penerus bangsa. Hal ini dibahas dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Kementerian Kominfo RI untuk masyarakat Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, dengan tema “Literasi Digital Untuk Efektifitas Pelaksanaan Pendidikan Di Era Normal Baru”, Selasa (9/11/2021).
Fikri Hadil (entertainer) memandu diskusi virtual dengan menghadirkan empat narasumber: Dwi Riyani Darma Setyaningsih (Kepala SMPN 4 Banyumas), Riyadi Setyarsono (Kasi Kurikulum SMP Dinas Pendidikan Banyumas), Septyanto Galan Prakoso (Dosen Universitas Negeri Surakarta), Andre Rahmanto (Dosen Universitas Negeri Surakarta). Serta Astira Vern (1st Runner Up Miss Eco International 2018) sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber membahas tema diskusi dari sudut pandang empat pilar literasi digital yang meliputi, digital ethics, digital culture, digital skill, digital safety.
Kepala SMPN 4 Banyumas Dwi Riyani Darma Setyaningsih dalam paparannya menyampaikan bahwa permasalahan yang kerap ditemukan di ruang digital adalah terlalu bebasnya penggunaan bahasa dalam berkomunikasi sehingga melupakan etika. Ia mengutip pepatah Jawa ajining diri dumung ana ing lathi sebagai patokan dalam berkomunikasi, terlebih sebagai warga yang menganut adat ketimuran, dimana sopan santun adalah satu budaya yang dijunjung tinggi.
“Kita sudah diajari bertatakrama dan berkomunikasi dengan baik di dunia nyata, tapi jangan lupa ketika di ruang digital adat ketimuran itu juga harus dibawa. Di ruang digital, meskipun komunikasi itu berupa tulisan tetapi sangat bermakna sehingga harus memperhatikan bahasa ketika berkomunikasi, tahu tempat dan waktunya juga,” ujar Dwi Riyani Darma Setyaningsih kepada 200-an peserta webinar.
Berbahasa dengan baik merupakan etika yang harus dipraktikkan di ruang digital. Dalam menyampaikan informasi dan konten harusnya menghindari menggunakan kata-kata kasar, vulgar, dan provokatif.
“Bahasa harus kita jaga dan digunakan dengan baik, serta harus memperhatikan kepada siapa kita sedang berkomunikasi. Jangan disamakan komunikasi kepada guru dengan komunikasi kepada teman. Biasakan mengucapkan salam, mengucapkan kata tolong, maaf, dan terima kasih dalam komunikasi. Hal sepele ini sudah mulai terlupakan, khususnya ketika menggunakan bahasa tulis,” lanjutnya.
Lalu dalam memproduksi, mengunggah, dan menyebarkan informsi juga ada etika yang harus dipatuhi. Ruang digital sudah dibanjiri berbagai informasi sehingga sulit untuk memilah informasi, maka jangan sampai sebagai warga digital ikut mengunggah atau membuat artikel yang mengandung kebohongan atau yang bisa menyakiti orang lain.
“Kita perlu pengendalian diri dalam membuat konten, jangan ketika dalam keadaan emosi yang tinggi kemudian mengekspresikan di ruang digital. Kita harus hati-hati dengan apa yang kita sampaikan karena itu bisa menjadi jejak digital yang buruk,” pesannya.
Kasi Kurikulum SMP Dinas Pendidikan Banyumas Riyadi Setyarsono menambahkan bahwa dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, masyarakat digital harus mampu membatasi diri dalam bingkai dan aturan berdigital. Serta menjamin keamanan diri dalam mengarungi dunia digital.
Keamanan digital disebutkan Riyadi merupakan kemampuan individu untuk bebas dari bahaya ketika menggunakan internet. Pertama adalah keamanan jaringan dan pengguna dari kebocoran data pribadi serta peretasan. Dalam hal ini ada upaya yang harus dilakukan untuk memproteksi perangkat dari kemungkinan bocornya data. Di antaranya dengan memasang kata sandi yang kuat, tidak mudah membagikan data pribadi ke ruang publik atau kepada orang lain.
“Ada keamanan dari segi hukum yang harus dipahami, bahwa perilaku seperti perundungan, pencemaran nama baik, penipuan, pelanggaran data pribadi, muatan yang melanggar kesusilaan di ruang digital itu ada sanksi hukumnya yang diatur di UU ITE,” ujar Riyadi Setyarsono.
Ancaman keamanan lainnya adalah keamanan dari pengaruh intoleransi dan radikalisme. Media sosial menjadi saluran bebas melakukan apa saja sehingga dibutuhkan kemampuan dalam memilih dan memilah informasi.
“Jangan membaca hanya dari satu sumber informasi, tetapi perlu mencari sumber lain sebagai pembanding untuk menghindari unsur intoleransi dan radikalisme yang mungkin disematkan dari suatu konten. Membekali diri dengan rasa nasionalisme yang kokoh, dan pastikan situs yang kita akses adalah situs yang terpercaya,” tutupnya.