Kecakapan literasi digital merupakan keterampilan yang paling mendukung untuk beradaptasi dengan transformasi digital. Keterampilan tidak hanya dibutuhkan oleh kelompok atau sektor tertentu saja melainkan individu secara global, karena transformasi menuntut semua orang untuk mau mengikuti perubahan.
Oleh Kementerian Kominfo RI, kecakapan literasi digital disederhanakan dalam empat pilar yaitu digital ethic, digital culture, digital skill, digital safety. Empat pilar ini kemudian digaungkan melalui gerakan nasional Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital yang diselenggarakan secara serentak dalam format webinar, salah satunya untuk masyarakat Kabupaten Kulon Progo, Rabu (10/11/2021).
Praktisi pendidikan Imam Wicaksono, sebagai salah satu narasumber menjelaskan betapa pentingnya kecakapan literasi digital bagi masyarakat khususnya warga pendidikan. Literasi digital merupakan kemampuan individu untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai format, dari beragam sumber yang disajikan secara digital.
Dengan cakap literasi digital dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia, menumbuhkan rasa keingintahuan akan ilmu pengetahuan, membentuk pribadi yang kreatif, inovatif, dan senantiasa berpikir kritis.
Tak dimungkiri dunia digital juga menghadirkan bahaya dan ancaman bagi penggunanya. Ada kekerasan siber, adiksi siber karena paparan game online, media sosial, serta fasilitas platform digital lain. Serta adanya ancaman perundungan siber yang dapat berupa ujaran kebencian dan hoaks. Dan hoaks hingga hari ini menjadi sorotan, bahkan semakin sukar dibendung persebarannya karena semua pengguna media digital bebas beraktivitas termasuk membuat dan mendistribusikan informasi. Akibatnya perputaran informasi hoaks dan fakta menjadi bercampur, disinilah cakap literasi digital diperlukan.
“Budaya membaca menjadi tradisi yang harusnya terus dipertahankan, dan penting dalam proses belajar mengajar. Kebiasaan membaca dapat menjadi benteng dari banjirnya informasi untuk bisa memilih dan menilai informasi. Digitalisasi membuat saluran hoaks tak terbendung, media sosial, ruang obrolan, dan situs web menjadi sasaran karena di platform tersebut masyarakat banyak menghabiskan waktu disana,” ujar Imam Wicaksono dalam webinar bertema ”Literasi Digital dalam Meningkatkan Prestasi Siswa dan Guru”.
Budaya membaca dan literasi digital membuat individu menjadi lebih cermat ketika menghadapi informasi, dan mengenali berita hoaks. Hoaks biasanya diproduksi dengan judul bombastis untuk mencuri perhatian, dan meninggalkan kesan pembaca. Postur berita tidak berimbang antara berita dan sumber berita. Jika sudah demikian akun dan website yang menerbitkan informasi tersebut harus diwaspadai, sebab kemudahan digitalisasi memungkinkan orang membuat akun palsu untuk menyebarkan informasi.
“Yang bisa kita upayakan ketika menghadapi berita hoaks adalah bersikap tenang dan bijak. Reaksi berlebihan membuat kita tidak objektif dalam bersikap, serta selalu ingat ada jejak digital dari aktivitas yang kita lakukan. Jangan tergesa menyebarkan berita, baca tuntas, dan renungkan manfaat serta dampaknya. Kita butuh effort lebih untuk cek sumber berita dalam melakukan verifikasi kebenaran dan melaporkan melalui kanal aduan jika informasi terbukti hoaks,” lanjutnya.
Oleh sebab itu, cakap literasi digital tidak hanya harus dimiliki guru dan siswa tetapi juga orangtua untuk dapat mengontrol anak. Orangtua harus paham aplikasi yang digunakan anaknya, mengatur jadwal menggunakan gadget dan batasan waktunya. Memerlukan keteladanan dari orangtua agar anak dapat bermedia sesuai porsi dan kebutuhannya.
Edhi Wibowo, seorang praktisi pendidikan menambahkan bahwa ada dua kecakapan digital yang penting dimiliki guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Yaitu kecakapan menggunakan aplikasi yang mendukung pembelajaran, dan kecakapan menggunakan aplikasi untuk membuat konten kreatif.
“Kecakapan menggunakan aplikasi yang mendukung pembelajaran sangat penting untuk memudahkan proses belajar mengajar. Tidak perlu menguasai banyak aplikasi tetapi cukup dengan menggunakan aplikasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi penggunanya. Membuat konten menjadi tantangan baru yang harus ditingkatkan guru untuk dapat menyampaikan materi pembelajaran yang menarik perhatian siswa, namun mendidik,” ujar Edhi Wibowo kepada 200-an peserta webinar.
Mengembangkan konten yang berkualitas itu menurut Edhi Wibowo adalah konten yang orisinil dengan headline kuat namun tidak click bait. Konten yang berkualitas disusun berdasarkan data yang akurat sehingga tidak menimbulkan hoaks atau tendensi negatif lainnya, serta mampu memberikan jawaban pada persoalan tertentu.
“Secara umum minimal buatlah konten yang informatif, menghibur, menginspirasi. Informasi disampaikan dengan gaya komunikasi yang baik, menambahkan gambar atau video, serta menulis konten dalam durasi pendek, dan teknik meruncing,” jelasnya.