Rabu, Desember 25, 2024

Jangan distribusikan informasi tak akurat, kalau tak ada manfaat dan nambah mudharat

Must read

Sisi negatif satu ini makin tak terbendung dari dampak banjirnya informasi di jagat digital: hoaks. Tidak tanggung-tanggung. Sepanjang 2020 saja Kominfo menemukan 8.000 akun penyebar hoaks atau fake news dalam beragam isu, baik politik, agama, dan – selama Februari 2020 s.d saat ini – infodemi seputar kesehatan yang paling banyak muncul. Di awal Februari, baru 53 hoaks seputar Covid-19, pada Mei 2021 Kominfo menemukan sampai 771 hoaks infodemi.

Dosen Fisip Universitas Diponegoro, Dr. Hartuti Purnaweni mencontohkan, hoaks kesehatan itu biasanya muncul dalam bentuk tips, semisal campuran air kelapa, jeruk nipis dan garam dapat mengobati Covid-19. Kesannya benar, tapi sejauh hanya berdasarkan pengakuan pemakai dan tanpa diikuti hasil uji laboratorium, maka tidak bisa dipercaya kebenaran informasi semacam itu.

Dan, terhadap infodemi semacam itu, Hartuti menyarankan agar kalau kita tidak yakin kebenaran informasinya, cukup stop di smartphone kita. Jangan di-sharing. ”Jangan distribusikan informasi yang tak akurat kalau kita rasa tak ada manfaatnya. Karena kalau didistribusikan, informasinya malah menimbulkan makin banyak mudharat buat banyak orang,” papar Hartuti Purnaweni, ketika menjadi pembicara dalam webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo ) untuk warga Kabupaten Semarang, Jumat (12/11/2021).

Dibuka dengan keynote speech Presiden Joko Widodo, dilanjut pesan dari Gubernur  Jateng Ganjar Pranowo dan Bupati Semarang Ngesti Nugraha, webinar kali ini mengupas topik ”Bersama Lawan Kabar Bohong (Hoaks)”. Diskusi virtual yang diikuti 550-an peserta tersebut dipandu moderator Rara Tanjung dan menghadirkan tiga pembicara lain, yakni Dr. Rino Ardhian Nugroho, dosen Universitas Sebelas Maret, Surakarta; Rindang Senja Andarini, dosen Komunikasi Universitas Sriwijaya Palembang; dan Widiasmorojati, entrepreneur. Ikut bergabung Bella Ashari, professional public speaker sebagai key opinion leader.

Hartuti menambahkan, membanjirnya jumlah pengguna medsos di 2021 yang mengacu We Are Social menyebut: dari 202 juta netizen Indonesia 170 juta di antaranya mengakses medsos, dan di sanalah rupanya hoaks tersebar. Riset dailysocial.id di 2020 menyebut, tiga medsos menjadi sumber penyebaran utama hoaks di Indonesia, yakni Facebook 82,25 persen, WhatsApp 58,55 persen, dan Instagram 29, 48 persen.

Menurut Hartuti, ini jelas bukan hal sepele dan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja. Tapi mesti dijadikan kerja kolaboratif banyak pihak, termasuk para netizen sendiri dengan beberapa langkah cerdas dan bijak dalam mengasup informasi di ruang digital.

”Jangan sembarang klik link abal-abal dan tak jelas akurasi sumber informasinya. Jangan pula gampang men-sharing informasi meskipun berasal dari terusan informasi teman atau figur yang dipercaya. Biasakan gunakan aplikasi cek fakta atau konfirmasi ke aplikasi antihoaks di Google atau Mafindo,” saran Hartuti, mewanti wanti.

Yang menarik, masih mengacu dailysocial.id, masyarakat netizen kita punya kecenderungan sikap: dari 2.032 responden yang disurvei, 72 persen punya kebiasaan meneruskan informasi yang mereka anggap penting begitu saja. Hanya 73 persen yang membaca tuntas informasinya, dan hanya 55 persen yang punya kebiasaan memverifikasi informasi dan melakukan fact check atas informasi yang mereka baca.

Apa kesimpulan temuan riset itu dalam realitas berinteraksi para netizen kita di medsos dewasa ini?

Menurut Rino Ardhian Nugroho, hal itu jelas menunjukkan masih tingginya kebiasaan netizen yang over sharing informasi. Juga pola distribusi berdasarkan keyakinan. Lalu, berlomba adu cepat membagi informasi ke ruang digital tanpa mau saring, apalagi thinking lebih dulu.

”Padahal, mestinya yakini dulu kebenarannya, juga perlu tidaknya informasi itu, karena tidak semua informasi yang benar itu penting buat orang lain. Jadikan thinking before sharing jadi kebiasaan baru untuk mencegah hoaks menyebar lebih luas,” saran pamungkas Rino Ardhian.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article