Minggu, November 24, 2024

Minyak naik, harga BBM tidak dikoreksi?

Must read

Oleh Eddy Herwanto

Sejak awal Januari, harga minyak merangkak meninggalkan harga terendah US$ 40 per barel. Harganya melambung lebih dari US$ 80 sejak awal November didorong makin tingginya permintaan energi Tiongkok dan India terutama untuk melumasi roda perekonomiannya. Minyak dan gas alam seperti melampiaskan dendamnya setelah lebih setahun harganya dijepit pandemi Covid19

Bagi Indonesia, kenaikan harganya bisa mengharuskan pemerintah meninjau asumsi APBN 2022, dan mengevaluasi harga BBM. 

Sayang di tengah situasi seperti itu, produksi minyak siap jual (lifting) justru cenderung turun. Hingga kuartal ketiga 2021, produksi migas siap jual (lifting) rata-rata hanya setara minyak bumi 1,640 juta barel/hari.

Dari jumlah itu, lifting minyak bumi 661.000 barel/hari – jauh di bawah sasaran APBN 2021 yang ditetapkan 705.000 barel.

Rendahnya pencapaian itu terjadi karena keterlambatan pengeboran sumur minyak dan gas. Sampai akhir September 2021, pekerjaan sumur pengembangan hanya 318 dari target 616. Pada periode yang sama lifting gas bumi tercatat 5,481 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau di bawah target 5,638 MMSCFD.

Namun dari sisi penerimaan realisasinya mencapai US$ 9,53 milyar atau 31% di atas sasaran US$ 7,28 milyar pada APBN 2021. Tingginya penerimaan itu lebih banyak karena pengaruh kenaikan harga minyak bumi dan gas – bukan karena bertambahnya lifting minyak.

Benar naiknya harga minyak ke US$ 60 sejak Maret 2021 dari sebelumnya (Desember 2020) US$ 40 barel (jenis WTI, West Texas Intermediate) akan menambah penerimaan devisa migas.

Di dalam menyusun APBN 2021, harga minyak ditetapkan moderat US$ 45 per barel. Kenaikan harga minyak setiap US$ 1 per barel diperkirakan akan menambah penerimaan devisa negara antara Rp 3 triliun dan Rp 4 triliun. Sebaliknya,  kenaikan harganya akan menyebabkan Pertamina mengeluarkan dolar lebih banyak guna membiayai impor minyak mentah untuk dikilang, BBM, dan LPG dengan harga baru.

Di masa lalu, saat penerimaan APBN mayoritas ditopang Pajak Penghasilan Migas, tingginya harga minyak di atas asumsi APBN seketika akan memunculkan spekulasi devaluaasi. Namun spekulasi tak terjadi lagi setelah penerimaan APBN berangsur bertumpu pada Pajak Penghasilan non Migas setelah perpajakan direformasi sejak 1984.

Berat bagi Pertamina karena sejak kuartal ketiga (Juni) hingga kuartal ke empat (November) harga minyak rata rata sudah merangkak naik dari US$ 70 hingga melampaui US$ 80 per barel.

Harga minyak ringan sekelas Brent dari Laut Utara, misalnya, sudah mendekati US$ 90. Makin tingginya harga minyak ini akan membuat Pertamina mengeluarkan uang lebih banyak subsidi untuk BBM seperti Pertalit dan Solar yang dijual di bawah harga pokok.

Makin berat bagi Pertamina jika Tiongkok dan India tetap berlari untuk memulihkan perekonomiannya, hingga harga energi (migas) dipercaya  akan terus bergerak naik. Bukan tak mungkin harga minyak akan melampaui US$ 100 per barel seperti pernah terjadi antara 2011 – 2015.

Analis JP Morgan menyatakan “tak percaya dengan tingkat harga minyak seperti sekarang (yang makin mendekati US$ 100 per barel) akan berakibat negatif pada perekonomian dunia,” kata Marko Kolanovic dan Bram Kaplan . “Bahkan jika harga minyak sampai US$ 130 hingga US$ 150 per barel, pasar modal dan perekonomian dunia akan tetap berfungsi baik.” (Reuters 21 Oktober 2021)

Analis dari lembaga lain berpikir sebaliknya, jika harga minyak mencapai dan kemudian melampaui US$ 80 per barel, maka pemulihan ekonomi untuk lolos dari jepitan pandemi Covid-19 bisa terancam. Mayoritas negara akan terkulai, sedang negara pengekspor minyak OPEC Plus (Rusia) akan menikmati oil windfall.

Indonesia juga akan terpukul. Jika harga BBM tidak segera dikoreksi pada kuartal pertama 2022, pendarahan arus kas Pertamina akan makin hebat. Yang dikhawatirkan, jika BBM, Gas Alam, dan LPG impor dikoreksi, ekonomi akan melambat pemulihannya, sementara inflasi impor dari kenaikan BBM dan LPG akan melambung. Terjadi cost push inflation dari inflasi inti yang harga komoditasnya seperti BBM dikendalikan pemerintah.

Situasinya seperti pisau bermata dua. Ini terjadi karena lifting minyak bumi kita merosot dari tahun ke tahun. Apalagi produksi terbesar minyak bumi kini bertumpu pada lapangan Cepu yang menghasilkan 207.000 barel per hari; sementara Blok Rokan yang baru saja diambil Pertamina dari Chevron terus turun dan kini tinggal 159.000 barel, padahal di masa lalu produksinya pernah mencapai lebih dari 800.000 barel sehari. Blok Mahakam juga demikian..

Naiknya harga minyak itu semoga bisa menjadi insentif investor untuk merealisasikan penanaman modalnya terutama di laut dalam yang sangat mahal biayanya – seperti Lapangan Abadi di Laut Masela, Maluku Tenggara.

Pemerintah rasanya juga perlu merevisi harga minyak US$ 55 –  US$ 70 di APBN 2022. Koreksi bukan tabu, sekalipun dilakukan berkali pada tahun fiskal berjalan, mengingat perubahan harga energi sangat dinamis.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article