Era digital yang ditandai akselerasi media sosial memunculkan beragam persoalan komunikasi baru di tengah masyarakat. Masalah hoaks dan hal sejenis seperti ujaran kebencian fitnah, manipulasi informasi, disinformasi, peredaran prasangka dan lain-lain, menjadi ancaman serius kehidupan berbangsa, juga beragama.
“Dalam situasi ini, generasi milenial diharapkan bisa menjadi pejuang anti hoaks untuk nenyehatkan ruang digital,” kata Kaprodi Magister Ilmu Administrasi Fisip Untirta Banten Ipah Emi Jumiati saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema “Menjadi Pejuang Anti Kabar Bohong (Hoaks)” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Rabu (17/11/2021).
Dalam webinar yang diikuti 500-an peserta itu, Ipah mengatakan, generasi milenial hidup dalam lingkungan sosial dan budaya digital yang berpotensi secara global dan menjadi sumber informasi dalam dunia yang telah berubah. Dan tantangan yang dihadapi generasi milenial ini telah membentuk persepsi milenial tentang kepahlawanan.
“Namun figur pahlawan masa lalu belum tentu cocok untuk tantangan generasi milenial saat ini, karena dianggap kurang relevan dengan zamannya,” katanya. Ipah merujuk satu penelitian, ketika ditanyakan ke generasi milenial soal siapa yang disebut pahlawan, jawabannya beragam.
Sebanyak 49 persen menjawab pahlawan itu adalah para pejuang kemerdekaan, sebanyak 30 persen menjawab tokoh luar, 9,6 persen menjawab tokoh agama, sebanyak 3,5 persen menjawab tokoh imajiner yang diproduksi industri, sebanyak 2,5 persen menjawab mereka yang berjasa bagi rakyat, sebanyak 1,3 persen menjawab yang bermanfaat dan 0,2 persen menjawab tidak tahu.
“Generasi milenial harus memahami dulu apa itu hoaks untuk dapat menjadi pejuang anti hoaks,” katanya. Hoaks sendiri diketahui sebagai informasi palsu, berita bohong atau fakta yang direkayasa untuk tujuan lelucon sehingga serius. Secara bahasa hoaks memang artinya lelucon, cerita bohong, kenakalan, olokan, membohongi, menipu, mempermainkan, memperdaya dan memperdayakan.
Sedangkan dalam kamus jurnalistik Ipah mengartikan hoaks sebagai berita bohong, berita yang tidak benar, sehingga menjurus pada kasus pencemaran nama baik.
“Menjadi pejuang tidak identik dengan mengangkat senjata, banyak juga yang disebut pejuang karena menjaga nilai-nilai kemanusiaan yaitu yang berkenaan dengan agama, sosial, budaya, ataupun lingkungan. Dan manusia-manusia seperti itu bertebaran dimana-mana, tidak berdasarkan jenis kelamin atau usia,” tuturnya.
Pahlawan anti hoaks, lanjut Ipah, menuntut agar pengguna milenial bisa menjaga nyamannya ruang digital. Sebabbberita hoaks dibuat agar viral, dan mendapat uang dari traffic juga untuk menjatuhkan golongan tertentu dengan merusak citranya.
“Kenali ciri-ciri hoaks yang biasanya mengakibatkan kecemasan, kebencian, dan permusuhan. Sumber beritanya juga tidak jelas dan biasanya pemberitaanya tidak terverifikasi, tidak berimbang dan cenderung menyudutkan pihak tertentu,” kata dia.
Ciri lainnya, hoaks biasanya memiliki narasi pengantar provokatif, memberikan penghukuman serta menyembunyikan fakta dan data. “Tiga hal penting pejuang anti hoaks adalah bisa menjaga privasi, bisa menentukan akurasi, dan menghargai properti atau hasil karya orang lain di dunia digital,” tambah Ipah.
Narasumber lain dalam webinar itu, dosen UNJ Nugrahaeni Prananingrum mengatakan, di era ini budaya digital harus menjadi penguatan karakter bangsa manusia modern.
Sebab, perkembangan kehidupan manusia contohnya seperti pandemi juga memicu manusia itu kian kreatif dan inovatif. “Sehingga komunikasi melalui ruang digital harus bisa lebih sehat, memiliki kekhasan tersendiri yang jelas dan berbeda satu sama lain namun tetap sehat,” ujarnya.
Nugrahaeni mengatakan, budaya yang dibentuk oleh digitalisasi berbeda dari pendahulunya seperti media massa cetak dan elektronik. “Saat digital ini terbentuk budaya lebih ke arah kolaboratif dan partisipatif,” katanya.
Webinar yang dimoderatori Dannys Citra itu juga menghadirkan narasumber peneliti M. Mur Arifin, dosen UGM Ahmad Mu’am serta Rizky Harisnanda sebagai key opinion leader.