Meski tak bisa dihindari dan malah dipercepat karena pandemi Covid-19, migrasi model pembelajaran sekolah dari kelas konvensional di ruang tatap muka fisik ke kelas digital dalam genggaman tangan, rupanya memunculkan banyak masalah baru. Dari pemberitaan media online sepanjang Juli s.d. November 2020, kita terus dikabari beragam masalah baru yang muncul sebagai dampak migrasi itu.
Satu yang menonjol adalah problem jaringan internet. Anang Masduki, MA PhD, dosen Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, menceritakan: dari Wonogiri, puluhan anak SD mendaki bukit terjal hanya untuk mencari sinyal smartphone. Lalu, terjadi di banyak keluarga, ayah mesti gantian memakai smartphone dengan anak untuk mengikuti kelas online di jam-jam tertentu.
Badan PBB Unicef bahkan menemukan problem di desa-desa di Indonesia terkait banyaknya siswa yang belum memiliki smartphone hingga antar-siswa yang mesti bergantian memakai ponsel. Puncaknya adalah temuan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) di sejumlah kota di Indonesia, di mana banyak siswa yang belum cakap digital dan belum menguasai tugas-tugas sekolah secara digital malah stres dan tertekan, hingga beberapa mesti dirawat di rumah sakit.
”Migrasi itu memang memunculkan masalah baru dalam proses pembelajaran di banyak sekolah di Indonesia, selama masa pandemi. Belum cakap dan menimbulkan gagap digital, itu inti soalnya,” kata Anang Masduki, ketika tampil sebagai pembicara dalam Webinar Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kota Yogyakarta, 11 November 2021.
Mengupas topik menarik ”Literasi Digital untuk Meningkatkan Prestasi Anak di Era Digital”, webinar dibuka langsung dengan penyampaian keynote speech oleh Presiden Joko Widodo. Dipandu oleh moderator Dannys Citra, webinar yang diikuti 500-an peserta itu juga menghadirkan tiga pembicara lain. Mereka adalah Ragil Trihatmojo, Blogger dan SEO Specialist; Jefry Yohanes Francisco, Founder dan CEO JF Autowear; dan Krisno Wibowo, pemimpin redaksi media online suarakampus.com. Ikut bergabung Rosiana Intan Pitaloka, penggiat pendidikan dan bahasa sebagai key opinion leader.
Mengacu pada panduan Portal Bakal Anak, Anang Masduki menyarankan, ada empat kesempatan yang perlu secara kolaboratif diberikan kepada siswa agar menemukan kemerdekaan dalam belajar. Ini sekaligus menjadi solusi mengatasi problematika yang timbul dalam proses belajar di kelas online di era digital dewasa ini, yang terjadi di banyak daerah.
Pertama, kata Anang, siswa diberi kebebasan untuk memilih sendiri fokus pelajaran yang mau ditekuni, yang diinginkan dengan senang hati. Kedua, mengatur sendiri waktu belajar yang dia mau. Ketiga, menentukan cara belajar yang terbaik. Keempat, menjalin hubungan pertemanan dengan teman yang satu minat. Di situlah peran guru sebagai fasilitator membantu menemukan teman dan link yang mesti diakses untuk mendukung kelancaran belajarnya.
”Orangtua juga mesti menciptakan kondisi ruang belajar yang kondusif dan menyenangkan. Sementara, agar proses belajar menarik dan tidak menjemukan, kadang bisa diselingi guru membuat konten kolaborasi dengan membuka kelas di alam terbuka dengan mengajak orang luar sebagai narasumber,” saran Anang.
Menyambung diskusi, Krisno Wibowo mengingatkan agar kerja kolaboratif sekolah dan orangtua mesti terus dilakukan. Sekolah mesti membuat kebijakan agar siswa bisa memaksimalkan penggunaan perangkat digital dalam proses belajar. Sementara, guru bertanggung jawab menyampaikan visi masa depan dan budi pekerti luhur yang mesti pararel dengan kecakapan digital.
Jadi, pendidikan karakter mesti berjalan pararel dengan pendidikan kecakapan digital dan semakin luasnya pengetahuan siswa. Sedangkan orangtua mesti mengontrol perkembangan prestasi anak dengan selalu menjalin komunikasi positif dengan guru. ”Sinergi segitiga emas yang saling melengkapi itu mesti dijaga untuk menjamin kesuksesan hasil belajar dan tercapainya prestasi maksimal anak di kelas online,” ujar Krisno, memungkas diskusi.