Media sosial sudah menjadi media favorit untuk mencari informasi dan berkomunikasi para generasi milenial sekarang ini. Namun, seiring popularitas penggunaannya, juga banyak fenomena terkait cybercrime dari ruang dunia maya, salah satunya penyebaran hoaks.
Advokat yang juga aktivis Gigih Algano S.H mengatakan, pemerintah telah berupaya melalui UU ITE untuk mencegah dan mengurangi konten-konten negatif di dalam dunia maya seperti hoaks dengan sanksi dan ancaman yang cukup berat.
“Dari UU ITE itu jelas mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian orang lain dapat diancam pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar,” kata Gigih saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Demokrasi yang Sehat dan Partisipatif di Era Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (18/11/2021).
Dalam webinar yang diikuti 500-an peserta itu, Gigih mengatakan meski demikian, toh hingga saat ini hoaks masih sulit dibendung dan terus memakan korban.
Gigih merinci, UU ITE memiliki banyak pasal dan ayat untuk menjerat pihak-pihak yang menyebarkan informasi tak bertanggung jawab di ruang digital. “Bahkan penyebaran berita bohong yang tidak mengakibatkan kerugian konsumen pun diatur juga dalam transaksi elektronik dan bisa dipidana, tergantung dari muatan konten yang disebarkan,” kata Gigih.
Gigih mencontohkan, berita bohong bermuatan kesusilaan dapat dijerat pidana berdasarkan pasal 27 ayat 1 UU ITE, bermuatan perjudian dapat dipidana berdasarkan pasal 27 ayat 2 UU ITE, perbuatan penghinaan dan pencemaran nama baik bisa dipidana berdasarkan pasal 27 ayat 3 UU ITE, bermuatan pemerasan atau pengancaman dapat dipidana berdasarkan pasal 27 ayat 4 UU ITE.
“Termasuk informasi yang menimbulkan menimbulkan rasa kebencian bisa juga dipidana berdasarkan pasal 8 ayat 2 UU ITE dan yang bermuatan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti bisa dipidana pasal 29 UU ITE,” ujarnya.
Gigih pun menjelaskan, dengan pemahaman itu, digital skill saat ini penting untuk menyiapkan masyarakat terutama generasi muda agar menggunakan internet secara baik dan aman.
“Supaya dapat menguasai digital skill supaya dapat lebih bertanggung jawab bebas dari miss informasi dan disinformasi juga memerangi hoaks atau berita bohong,” tegasnya.
Gigih mengingatkan untuk menangkal hoaks tak lain dengan saring sebelum sharing, lalu analisa informasi dan verifikasi informasi kemudian evaluasi informasi dan partisipasi untuk meluruskan informasi yang menyesatkan itu.
Narasumber lain dalam webinar itu, Ketua KPU Banyumas Imam Arif mengatakan, ancaman demokrasi di era digital ini salah satunya politik identitas. ”Hal itu membuat suburnya aksi menjurus intoleransi, yang biasanya dipicu ujaran kebencian dan berita bohong di ruang digital,” tuturnya. Kondisi seperti ini seperti langgeng atau sulit hilang karena juga dipicu berbagai faktor. Misalnya sikap apatis elite politik.
Oleh sebab itu, lanjut Imam Arif, perlunya pengguna melek informasi dan terbuka. Dengan mewaspadai dampak dari filter bubble dari ruang digital yang membentuk pribadi ignorant, bisa terjebak dalam satu sudut pandang saja dan menciptakan efek konsensus yang salah serta cenderung hanya membaca judul berita tanpa membaca konten tapi mempercayai hoaks.
Webinar yang dimoderatori Oony Wahyudi itu juga menghadirkan narasumber dosen Ilmu Budaya UNS Solo Muhammad Yunus Anies, dosen Fisip Universitas Diponegoro, Dr. Hartuti Purnaweni, serta Suci Patia sebagai key opinion leader.