Perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan, dan menuntut pengguna – mau tak mau – harus memiliki etika di ruang digital. Sejumlah etika dasar yang harus dimiliki pengguna di ruang digital, di antaranya adalah menghindari isu SARA dan cyberbullying serta membiasakan diri berkomunikasi secara sopan dan baik, seperti halnya di kehidupan nyata.
”Etika sebagai sistem nilai dan norma moral menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya di ruang digital, agar mengacu norma dalam berinteraksi dengan siapa pun,” kata Alfan Gunawan, konsultan senior Opal Communication, saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema “Literasi Digital Bagi Pendidik dan Anak Didik di Era Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Jumat (19/11/2021).
Dalam webinar yang diikuti 300-an peserta itu, Alfan mengatakan, etiket sendiri lebih mengatur tata cara individu berinteraksi dengan individu lain dalam masyarakat.
Yang masuk dalam etiket ini, lanjut Alfan, semisal berhati-hati dalam menyebarkan informasi pribadi ke publik, berhati-hati terhadap akun yang tidak dikenal, memanfaatkan media sosial untuk hal positif, membangun networking, dan tidak mengunggah atau men-share apa pun yang belum jelas kebenarannya.
Alfan menambahkan, dalam menjaga keberagaman Indonesia, etika berkomunikasi sangat perlu diterapkan. Hal ini bisa dilakukan dengan
menggunakan tulisan atau tanda baca yang ditulis menggunakan bahasa yang sesuai dengan situasi baik formal atau non-formal. ”Termasuk menyampaikan informasi atau data secara lengkap,” cetusnya.
Alfan menuturkan, agar pengguna dalam bermedia sosial menggunakan tanda baca yang sesuai seperti koma, titik, dan sebagainya. ”Hindari menggunakan huruf kapital semua, karena hal itu memberi kesan marah. Juga tanda seru dan tanda tanya, sebaiknya dibatasi,” kata dia.
Menurut Alfan, keterampilan guru dalam era digital ini dituntut bisa menyediakan media pembelajaran yang lebih menarik. ”Guru didorong memaksimalkan kreativitas dalam memanfaatkan internet untuk membuat media pembelajaran multiformat serta membuat media visual berupa diagram atau infogram,” urainya.
Masih kata Alfan, guru bisa memanfaatkan media sosial untuk mengikuti tren atau kesukaan anak didik. Juga, mengembangkan game based learning untuk mengajak siswa belajar sambil bermain. Dengan begitu, siswa tidak bosan menyesuaikan keyboard pencarian dan merujuk pada referensi sumber yang terpercaya berbahasa asing dengan pengembangan global
Narasumber lain dalam webinar itu, jurnalis Didik Sutandi mengatakan, untuk menjadi warganet yang Pancasilais perlu syarat mutlak bisa berpikir kritis. ”Menjadi warga digital yang Pancasilais harus dimulai dengan proses berpikir kritis, artinya menganalisa informasi itu apakah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila atau tidak,” ujarnya.
Menjadi Pancasilais, sambung Didik, bisa dilakukan dengan mengurangi unfollow, unfriend, dan block. ”Menjadi warga digital yang Pancasilais berarti siap untuk berhadapan dengan pengguna internet dengan latar belakang yang beragam,” katanya.
Webinar yang dimoderatori Fikri Hadil itu juga menghadirkan narasumber Kepala Sekolah SMK Muhammadiyah Kesesi Pekalongan Moh. Abdul Kodir; Pengawas Sekolah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pekalongan Sukirno, serta Iga Azwika sebagai key opinion leader.