Kamis, Oktober 31, 2024

Jadi milenial penggerak literasi digital, tahan jempol jangan sampai data jebol

Must read

Kelompok masyarakat produktif milenial dan generasi Z mendominasi populasi komposisi penduduk Indonesia. Kekuatan dari generasi muda tersebut dapat dikerahkan untuk menjadi penggerak literasi digital dalam menghadapi transformasi digital. Tema diskusi “Milenial sebagai Penggerak Literasi Digital” dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Jumat (26/11/2021).

Diskusi dipandu oleh Nindy Gita (Professonal Public Speaker) dan diisi oleh empat narasumber: Razi Sabardi (Pengamat Kebijakan Publik Digital), Ismita Saputri (Co-founder Pena Enterprise), M. Nur Arifin (Antropolog), Ahmad Rosyidi (Jurnalis Betanews. Id). Serta Ade Wahyu (Content Creator) sebagai key opinion leader. Tema diskusi dibahas oleh narasumber dari perspektif empat pilar literasi digital yaitu digital ethics, digital safety, digital culture, digital culture.

Ismita Saputri (Co-founder Pena Enterprise) menjelaskan bahwa banyak sekali perubahan dalam interaksi sosial pada masa transformasi digital. Masyarakat menghabiskan sebagian besar waktu atau rata-rata hampir semblan jam per hari menggunakan internet, serta sekitar tiga jam untuk bermedia sosial. Dengan komposisi demikian tidak akan jadi masalah jika penggunaan internet dan media sosial sesuai dengan kebutuhan dan peruntukannya. Hal tersebut dapat menjadi kekuatan baru agar milenial menjadi penggerak literasi digital.

Ketika menjadi penggerak literasi digital tidak cukup hanya aktif bermedia digital, melainkan harus memahami prinsip tangkas berinternet. Berinternet harus cerdas untuk berhati-hati dalam membagikan informasi, cermat agar tidak mudah tertipu dengan tautan bodong atau pesan berantai yang memberikan iming-iming hadiah, serta tangguh berinternet atau mampu menjaga rahasia informasi pribadi. 

Sayangnya kebiasaan mudah berbagi informasi masih tinggi, padahal untuk aman bermedia sosial salah satu kuncinya adalah tidak sembarangan membagikan informasi pribadi. Media sosial dan informasi yang dibagikan harusnya sesuai dengan peruntukan dan kebutuhan saja.

“Keamanan digital mencakup bagamana memproteksi perangkat digital, identitas digital dan data pribadi. Mewaspadai penipuan, memahami rekam jejak digital, dan memahami keamanan digital bagi anak,” jelas Ismita Saputri tentang kompetensi dasar keamanan digital.

Rekam jejak digital adalah segala sesuatu yang tertinggal dari aktivitas digital, oleh sebab itu harus berhati-hati sebelum mengunggah foto, menulis komentar, atau membagikan informasi ke ruang publik. Jejak digital dapat dicari dan dikelola untuk melakukan kejahatan.

Data dari jejak digital dapat dimanfaatkan orang lain untuk jual beli data, profiling politik, pendaftaran pinjaman online, dan kejahatan lainnya yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.

“Yang perlu dilakukan di ruang digital sebagai penggerak literasi digital adalah dengan meng-update atau mengunggah hal-hal positif dan bernilai kebajikan, menahan jempol untuk selamatkan generasi selanjutnya dari hal buruk di internet. Kenali informasi hoaks dan laporkan ke kanal aduan untuk mereduksi konten negatif,” jelasnya.

Dari sisi etika, antropolog M. Nur Arifin menjelaskan, aktivitas di ruang digital pada dasarnya meliputi kegiatan mengakses, baik untuk mengakases informasi atau kanal-kanal media sosial untuk berinteraksi dengan pengguna lain. Kemudian ikut berpartisipasi dan berkolaborasi untuk memprodukasi atau mendistribusikan konten.

Kegiatan di ruang digital harus dilakukan dengan empat prinsip etika digital. Bermedia harus dilakukan dengan kesadaran penuh, tahu tujuan yang akan diraih, sehingga tidak menjadi warganet yang konsumtif. Bermedia dengan penuh integritas dan memiliki tanggung jawab atas konsekuensi setiap aktivitas digital. Oleh sebab itu, bermedia hendaknya selalu dilakukan dengan penuh kebajikan, berbagi hal yang bermanfaat dan bertindak dengan prinsip kemanusiaan.

“Jangan sampai kita di ruang digital melupakan etika. Bermedia digital atau bermasyarakat di ruang digital juga ada batasan moralitas agama, etika, dan ada sanksi hukum yang diatur dalam UU ITE. Karena ada jejak digital yang dapat menjadi bukti di mata hukum, ada sanksi sosial di lingkungan digital,” ujar Nur Arifin.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article