Di saat gerah mau mandi dan lanjut memasak, air PAM di rumah Mbak Bunga malah macet. Tidak netes sama sekali. Bunga pun segera ngetweet di @pdamtirtamulia. ”Pripun niki, air di rumah macet. Aire mboten netes blas.” (Gimana ini, air di rumah macet, tak menetes sama sekali), tulis Bunga lewat chat ke nomor WA tirtamulia, serta membagi google map alamat rumahnya. Tak berselang lama, petugas datang mengatasi keluhan Bunga.
Kini, berlangsungnya transformasi digital memang membuat layanan publik di Kabupaten Pemalang mesti beradaptasi. Masyarakat juga punya tuntutan sesuai perkembangan zaman: ingin serba cepat, responsif, mudah dan tuntas mengatasi masalah. Termasuk soal pelayanan air bersih, PDAM Tirta Mulia Pemalang bertransformasi dengan beragam layanan digital untuk memberikan servis terbaik buat kepuasan warga masyarakat.
”Pasang, bayar air, dan komplain layanan bisa dilakukan dengan ponsel pintar: bisa twitter, facebook, atau WhatsApps. Pembayaran bisa dengan layanan m-banking atau di Indomaret dan Alfamart. Semakin mudah, semakin praktis buat kepuasan warga Pemalang. Jadi, kalau mau komplain layanan kita, silakan tinggal ngetweet saja,” papar Slamet Effendi, Direktur PDAM Tirta Mulia Pemalang, saat tampil sebagai pembicara dalam webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kabupaten Pemalang, Kamis (25/11/2021).
Membahas topik ”Tata Kelola Pelayanan Publik Berbasis Digital”, webinar dibuka secara virtual oleh Presiden Joko Widodo dengan menyampaikan keynote speech-nya, dilanjut pesan dari Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Dipandu moderator presenter TV Nabilla Nadjib, tampil menemani Slamet Effendi tiga pembicara lain: Tauchid Komara Yudha, dosen Fisipol UGM; Mujianthok, CEO dan Founder ATShoft Technologie; dan Ahmad Faojin, praktisi pendidikan. Turut bergabung Rizka Yoviska, Miss Hallal Tourisme sebagai key opinion leader.
Mengutip Prof. Rhenald Khasali, pakar manajemen modern Universitas Indonesia, Tauchid Komara, dosen Fisipol UGM yang turut gabung dalam webinar menyebutkan, disrupsi tengah menjangkiti sistem layanan publik kita. Disrupsi intinya adalah inovasi. Satu inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem layanan yang semula menggunakan cara-cara lama dengan cara baru.
“Ia juga mengubah cara layanan dengan teknologi lama dengan teknologi serba digital, yang membuat semuanya lebih efisien dan manfaat. Menjadikan masyarakat bisa mendapat layanan publik lebih mudah, cepat, lebih berubah dan benar-benar baru,” kutip Tauchid. Mengapa harus mendisrupsi layanan publiknya?
Menurut Tauchid, ini menyangkut soal siapa yang kini dilayani. Populasi penduduk kita yang 56 persen (lebih dari separo) adalah warga milenial dan generasi Z yang lahir antara tahun 1980-an hingga 2000-an. Mereka itu sangat menghargai waktu dan sangat tergantung dengan teknologi digital.
Mereka menginginkan pelayanan efektif cepat dan murah. Bukan zamannya lagi antre panjang dan menulis beragam persyaratan rumit. Semuanya kini bisa dilakukan dengan kemudahan teknologi digital. Praktis dan mudah dengan tombol ponsel pintar, bahkan dilakukan dari rumah.
”Ciri generasi ini yang mengisi lebih separo penduduk kita sekarang adalah terbiasa multitasking, mengerjakan beragam pekerjaan bersamaan dan bisa membagi fokus secara efektif. Jadi, digitalisasi adalah adaptasi yang mesti diikuti semua lapisan masyarakat agar bisa bersaing dengan dinamika layanan global yang serba cepat,” imbuh Tauchid.
Terkait perubahan atau migrasi layanan ini, narasumber berikutnya, M. Faojin berpendapat, menjadi tugas generasi milenia dan generasi Z untuk mau berbagi kecakapan kepada generasi sebelumnya. Jadilah generasi teachable, mau mengajari generasi sepuh, pakdhe dan budhe yang belum cakap.
”Ajari caranya, bagaimana membayar listrik dan membayar pajak secara digital. Agar mereka juga menikmati mudah dan nyamannya layanan publik yang sudah bertransformasi. Kenyamanan ini biar merata dirasakan semua lapisan masyarakat, dengan sarana digital dari genggaman tangan mereka,” ujar M. Faojin, memungkas diskusi.