Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Amany Lubis, MA membukan acara diskusi kontemporer dengan tema: ”Membedah Krusialnya Pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana” di ruang Teater Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan.
Amany Lubis menilai regulasi Indonesia sampai saat ini masih memiliki keterbatasan dalam melakukan penyelamatan aset yang merupakan hasil tindak pidana. “Belum adanya undang-undang tentang perampasan aset membuat pelaku kejahatan dan pencucian uang tidak jera dan jeri terhadap hukuman yang diterimanya karena yang bersangkutan masih dapat menikmati uang hasil kejahatannya setelah menjalani hukuman badan,” ungkap rektor yang setengah masa usia pendidikan formalnya dihabiskan di Alazhar, Cairo.
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan, terlihat bahwa upaya mengambil aset atas hasil tindak pidana di Indonesia belumlah optimal dilakukan, khususnya recovery terhadap hasil tindak pidana yang tidak dapat atau sulit dibuktikan tindak pidananya, termasuk hasil tindak pidana yang dimiliki atau berada dalam penguasaan tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia.
Permasalahan tersebut di atas dapat diselesaikan dengan penetapan RUU Perampasan Aset. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengatakan RUU ini telah diinisiasi penyusunannya oleh PPATK sejak Tahun 2003 dengan mengadopsi ketentuan dalam The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 dan konsep Non-Conviction Based Forfeiture dari negara-negara common law.
Kenapa RUU ini diperlukan, karena, “Sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset tindak pidana pada saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukum yang berkeadilan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar,” ujar Ivan.
“Selain itu, pengaturan yang jelas dan komprehensif mengenai pengelolaan aset yang telah dirampas akan mendorong terwujudnya penegakan hukum yang profesional, transparan, dan akuntabel,” tambahnya.
Ivan menyampaikan kepada para mahasiswa UIN Syarif Hidayatulah untuk lebih peduli terhadap perkembangan yang ada agar tidak tertinggal dari perkembangan hukum dan teknologi. “Saat ini untuk melakukan transaksi sudah bisa dilakukan oleh robot. Tentu kejahatan juga bisa dilakukannya. Bagaimana agar negara tidak dirugikan, tentu menjadi tanggung jawab kita semua.”
Oleh karena itu, maka dirasa perlu membentuk UU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana yang ditujukan untuk mengejar aset hasil kejahatan, bukan terhadap pelaku kejahatan. Dengan demikian, keberadaan RUU Perampasan Aset telah merubah paradigma dari hukum pidana mulai dari yang paling tradisional, yakni untuk menimbulkan efek jera dengan suatu pembalasan (retributionist), bahkan yang paling mutakhir sekalipun, yakni rehabilitasi (rehabilitationist).
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatulah, Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlle SH., MH., MA pada kesempatan yang sama menyampaikan langkah yang harus kita lakukan sekarang ini tak lain mendorong RUU Perampasan Aset ini masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2022 yang biasanya akan dibahas di awal atau akhir tahun 2022. “Di waktu-waktu yang terbatas ini, saya kira kita semua sebagai pemangku kepentingan secara bersama mendorong agar RUU ini menjadi Prolegnas Prioritas Tahun 2022.”
RUU perampasan aset mendeskripsikan bahwa Perampasan Aset Tindak Pidana suatu upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk merampas aset tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya. Upaya untuk perampasan aset dari hasil tindak pidana korupsi ketika aset tersebut mengalir keluar negeri, tentunya akan menciptakan suatu kesulitan dalam hal melacak (tracing), menyita (forfeit) pada waktu proses persidangan ataupun merampas (confiscate) setelah ada putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Dasar dapat dilakukannya perampasan aset yakni bagi setiap orang yang memiliki Aset yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau yang tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaannya dan tidak dapat membuktikan asal usul perolehannya secara sah maka aset tersebut dapat dirampas berdasarkan RUU Perampasan Aset.
Aset yang tidak seimbang tersebut dianggap sebagai aset tidak wajar yang dihitung melalui total kekayaan dikurangi penghasilan yang diperoleh secara sah (Unexplained Wealth). Unexplained Wealth merupakan aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal-usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan tindak pidana.
Dalam RUU Perampasan Aset mengatur bahwa perampasan aset dilakukan dalam hal tersangka atau terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya; atau terdakwanya diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Selain itu, perampasan aset dapat juga dilakukan terhadap aset yang perkara pidananya tidak dapat disidangkan; atau telah diputus bersalah oleh pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan di kemudian hari ternyata diketahui terdapat aset dari tindak pidana yang belum dinyatakan dirampas.
Berdasarkan tinjauan historis dan perkembangannya, konsep dari perampasan aset yang terdapat dalam RUU lahir dan berkembang pada sistem hukum anglo saxon yang terdapat suatu gagasan yang menyatakan “if a thing offends the law, it may be forfeited to the state” (jika benda itu adalah hasil kejahatan, maka dapat dikuasai oleh negara). (Theodore S. Greenberg, 2019: 18). Bertitik tolak dari pemahaman tersebut konsep hukum perampasan aset memiliki pengertian “suatu penindakan terhadap benda”.
Jika dilihat secara umum, materi muatan RUU Perampasan Aset dianggap sangat revolusional dalam proses penegakan hukum terhadap perolehan hasil kejahatan. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari tiga perubahan paradigma dalam penegakan hukum pidana :
- Pihak yang didakwa dalam suatu tindak pidana, tidak saja subjek hukum sebagai pelaku kejahatan, melainkan aset yang diperoleh dari kejahatan.
- Kedua, mekanisme peradilan terhadap tindak pidana yang digunakan adalah mekanisme peradilan perdata.
- Terhadap putusan pengadilan tidak dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang dikenakan terhadap pelaku kejahatan lainnya.
Adapun substansi pengaturan dalam RUU Perampasan Aset, berdasarkan naskah akademik yang ada mengatur antara lain :
- Aset yang Diperoleh atau Diduga Berasal dari Tindak Pidana yang Dapat
- Dirampas.
- Aset yang Tidak Seimbang dengan Penghasilan
- Penelusuran Aset
- Ketentuan Pemblokiran dan Penyitaan
- Perampasan Aset
- Permohonan Perampasan Aset
- Tata Cara Pemanggilan
- Wewenang Mengadili
- Acara Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
- Pembuktian dan Putusan Pengadilan
- Pengelolaan Aset
- Tata Cara Pengelolaan Aset
- Ganti Rugi dan/atau Kompensasi
- Perlindungan Terhadap Pihak Ketiga
- Kerjasama Internasional
- Pendanaan
- Ketentuan Peralihan
- Ketentuan Penutup
Pembicara dalam diskusi kontemporer ini Mungki Hadipratikno, Direktur Pelacakan Aset, Barang Bukti dan Eksekusi KPK. Fithriadi Muslim, SH, MH, Direktur Hukum PPATK. Dr. Nurul Irfan M.Ag, Pakar Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah, Silvia Desty Rosallina, SH, MH, Kepala Bidang Pemulihan Aset Nasional, PPA Kejaksaan RI, dan Mustholih Siradj SHI. MH dosen Universitas Islam Syarif Hidayatullah, sebagai moderator.