Di Istana Merdeka, setiap kali Gus Dur sedang sendirian di ruang kerja, biasanya ada ajudan yang memberi tahu saya: “Gus, itu bapak sedang sendirian.” Saya masuk. Hampir seperti itu saja pekerjaan saya di istana, menemani Gus Dur saat dia sendirian dan mendengarkannya bicara. Gus Dur bercerita segala macam, saya diam, hampir tidak pernah mengatakan apa-apa. Hanya jika Gus Dur bertanya, saya akan menjawab. Selebihnya saya hanya mendengarkan. Yang penting Gus Dur tahu bahwa saya ada di dekatnya dan sedang mendengarkan dia bicara.
Saya bersyukur mendapatkan situasi seperti ini. Berdua dengan Gus Dur, mendengarkan dia berbicara, adalah hal paling menguntungkan yang saya dapatkan dari posisi sebagai juru bicara presiden. Dengan cara itu saya menjadi santri Gus Dur. Kata teman-teman, di pondok pesantren paling mewah, ialah istana negara.
Ruang kerja presiden di sayap kanan Istana Merdeka; Gus Dur menerima tamu di situ. Di sebelah sana ada hall, sebuah ruangan besar untuk upacara-upacara. Sayap kiri dipakai seluruhnya sebagai tempat kediaman presiden.
Kami duduk-duduk di sayap kanan, di ruang kerja presiden. Hampir tiap hari ada waktu-waktu seperti itu. Kadang-kadang kami duduk berdua pada pukul tiga dini hari. Gus Dur nyaris tidak bisa melihat sama sekali; saya tidak ingin membiarkannya duduk sendirian. Jadi, saya akan mendatanginya setiap kali dia sedang sendirian. Saya pikir itulah pekerjaan utama saya.
Di situ Gus Dur mengajari saya fikih, ushul fikih, tasawuf, tauhid, politik, intelijen, dan sastra. Biasanya ketika sedang menginginkan hiburan, dia membicarakan sastra. Dia punya perhatian terhadap gaya bahasa dan gaya bercerita. Keindahan sastra, menurut Gus Dur, ada pada gaya bahasa dan gaya bercerita. Gus Dur bicara soal bagaimana sastrawan yang berbeda-beda punya gaya masing-masing, dan punya keindahannya masing-masing.
(Dari: “Menghidupkan Gus Dur: Catatan kenangan Yahya Cholil Staquf”)