Oleh Farid Gaban
Pemerintahan Jokowi dan SBY itu sama cara berpikirnya. Bedanya: Jokowi menerapkannya dengan lebih agresif dan lebih brutal.
Membuang Nawacita, Jokowi memakai MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia), konsep/platform pembangunan zaman SBY. Untuk menjamin pelaksanaannya, Jokowi bahkan menempatkan beberapa mantan menteri SBY (Darmin Nasution dan Sri Mulyani) ke dalam kabinetnya.
Konsep yang sama diterapkan lebih agresif.
Dalam soal infrastruktur fisik, Jokowi membangun lebih cepat dan cergas ketimbang SBY, meski harus menumpuk utang kolosal.
Jokowi mendorong liberalisasi ekonomi dan investasi secara lebih agresif ketimbang SBY, antara lain lewat 16 paket deregulasi yang dikeluarkan Darmin Nasution. Tak puas dengan itu, Jokowi mendorong Omnibus Law yang lebih brutal.
Dan kini, dalam soal subsidi BBM, tak hanya Jokowi mengurangi subsidi. Jokowi bahkan menghapus subsidi sama sekali. Lebih brutal dari SBY.
Dan argumen saya tetap seperti yang saya tulis pada 2012-2014 ketika mengkritik Pemerintahan SBY.
Status Facebook saya pada 1 Mei 2013:
Menurutku, banyak orang termakan propaganda pemerintah dalam soal BBM. Subsidi BBM menguntungkan orang kaya, katanya; seolah kalau dicabut subsidi itu tak ada dampaknya buat yang miskin.
Padahal orang miskin menderita lebih keras ketika harga BBM naik menyeret semua harga kebutuhan pokok. Kenaikan pengeluaran Rp 200 ribu bagi orang bergaji Rp 10 juta/bulan hanya 2%. Bagi buruh bergaji Rp 1 juta/bulan = 20%.
Pada akhir Pemerintahan SBY, Indonesia mengalami ketimpangan ekonomi yang paling parah sepanjang sejarahnya (dengan rasio Gini tertinggi).
Jadi, mewakili wong cilik, sudah benar PDI Perjuangan dulu memprotes pengurangan subsidi BBM zaman SBY. (Puan Maharani membacakan protes itu sambil menangis pada 2012).
Yang jadi masalah: kemana suara PDIP dan Puan Maharani sekarang, ketika Jokowi tak hanya mengurangi, tapi bahkan menghapus subsidi bensin?