Oleh Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI
Dalam perjanjian penyesuain FIR (Perjanjian FIR) yang ditandatangani oleh Singapura dan Indonesia disebutkan dalam Siaran Pers Menko Marves bahwa di wilayah-wilayah tertentu yang berada dalam kedaulatan Indonesia pada ketinggian 0-37,000 Indonesia mendelegasikan ke Otoritas Penerbangan Singapura.
Apa yang diperjanjikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak diperbolehkan.
Hal ini mengingat Pasal 458 Undang-undang Penerbangan (Nomor 1 Tahun 2009) dengan tegas menyebutkan, “Wilayah udara Republik Indonesia, yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.”
Oleh karenanya Perjanjian FIR Indonesia Singapura tidak boleh lagi ada pendelegasian. Ini mengingat pendelegasian menurut Pasal 458 harus dihentikan hingga tahun 2024.
Lalu mengapa dalam perjanjian FIR Indonesia Singapura sebgaimana dilansir oleh media Singapura didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura untuk jangka waktu 25 tahun? Bahkan dapat diperpanjang sepanjang mendapat kesepakatan kedua negara.
Bila melihat ketentuan Pasal 458 UU Penerbangan, sepertinya para pejabat yang menegosiasikan Perjanjian FIR tidak memperhatikan atau dengan sengaja ingin menyimpang dari UU Penerbangan.
Tindakan para pejabat tersebut sangat membahayakan kedudukan Presiden.