Hari ini, aparat keamanan dalam jumlah besar menyerbu Desa Wadas. Mereka “mengamankan” pengukuran untuk proyek penambangan batu tersebut. Mereka menangkapi warga dan para aktivis masyarakat sipil yang membantu warga untuk mempertahankan tanahnya.
Pengerahan aparat keamanan ini mengingatkan saya pada kejadian pada 1989 ketika pemerintah Orde Baru membangun Waduk Kedungombo di Boyolali. Waduk ini menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di tiga kabupaten. 5.268 keluarga harus hengkang dari lokasi pembangunan waduk itu.
Sebagian melawan. Pembangkangan dan protes meledak di kalangan masyarakat dan dibantu oleh para aktivis. Militer dan polisi diterjunkan untuk memadamkan perlawanan itu. Penangkapan dan penyiksaan pun terjadi.
Soeharto, presiden Orde Baru ketika itu, menjustifikasi pembangunan bendungan itu dengan pepatah Jawa, “jer basuki mawa beya.” Maksudnya, untuk menjadi sejahtera memerlukan beaya.
Romo YB Mangunwijaya adalah yang ikut serta mendampingi masyarakat melawan penggusuran sewenang-wenang itu. Dia mempertanyakan justifikasi Suharto tersebut. Menurut Romo Mangun, persoalannya adalah siapa yang menanggung harus beaya tersebut? Apakah justifikasi moral dari mendapat manfaat untuk banyak orang tetapi dengan keharusan mengorbankan manusia lainnya, khususnya yang lebih lemah dan miskin?
Romo Mangun mengatakan bahwa pembangunan tidak bisa dijustifikasi dengan ‘tumbal’ warga negara sendiri. Tumbal ini menjadi sebuah ‘counter-argument’ yang sangat kuat untuk melawan dominasi diskurs pembangunan ketika itu.
Setelah sekian lama berlalu, jelas terlihat bahwa Waduk Kedungombo dibangun tergesa-gesa lewat crash-program. Tidak ada perencanaan untuk masyarakat. Tidak ada perkenalan untuk mengubah kebudyaan agriculture ke aquaculture, dari kebudayaan agraris ke kebudayaan air.
Saya melihat sejarah yang berulang. Tidak saja di Wadas dan Bendungan Bener. Tetapi juga di tempat-tempat lain. Proyek Ibu Kota Negara, misalnya, dikerjakan dengan sangat tergesa-gesa. Imajinasi yang diproyeksikan selalu adalah sesuatu yang agung (grandeur). Pokoknya, pada 2024, Presiden Jokowi harus memimpin upacara kemerdekaan dari ibu kota negara baru.
Hari ini saya membaca sebuah teaser buku dari seorang jurnalis investigative, Jessie Singer, yang berjudul: There Are No Accidents: The Deadly Rise of Injury and Disaster — Who Profits and Who Pays the Price.
Dalam wawancara, Jessie Singer mengatakan bahwa sebagian besar yang kita sebut kecelakaan itu sesungguhnya bukan kecelakaan. Ia melihat kecelakaan itu sebagai sesuatu yang terjadi secara random dan tidak terduga. Data-data statistik menunjukkan bahwa apa yang disebut kecelakaan itu sesungguhnya tidak random dan bisa diduga.