Dalam kasus Amerika, kecelakaan itu terjadi menurut garis kelas dan rasial. Artinya, kelas sosial dan rasial ini bersambung kepada kemiskinan lalu dengan kecelakaan. Kalau Anda berkulit berwarna, asosiasinya adalah Anda kelas bawah (miskin) dan semakin besar kemungkinan Anda mengalami “kecelakaan.”
Argumen Jessie Singer ini juga mengarahkan ketimpangan ini pada analisis terhadap siapa yang diuntungkan pada kecelakaan-kecelakaan. Kebakaran apartemen di Brooklyn, New York, yang terjadi baru-baru ini, misalnya, memakan korban besar karena tidak tersedianya fasilitas-fasilitas keamanan seperti tangga, jendela, dan lain sebagainya.
Pemilik dan pengelola kompleks apartemen tersebut menghilangkan fasilitas-fasilitas keamanan itu demi penghematan. Yang berarti keuntungan yang lebih besar.
Itu terjadi juga di dalam masyarakat kita. Korban banjir di Sintang, misalnya, mengalami kebanjiran bukan karena tingginya curah hujan. Namun mereka kebanjiran selama berminggu-minggu karena rusaknya mekanisme tata kelola air secara alami. Ada orang yang untung dari situasi ini? Tentu saja. Mereka adalah para loggers yang menebang hutan dan para planters yang menanam sawit.
Dengan kata lain, orang-orang miskinlah yang harus menanggung beaya dari kemakmuran, yang kalau dilihat secara statistik dinikmati oleh segelintir elite kaya raya.
Orang-orang miskin tidak memiliki sarana untuk melindungi diri mereka sendiri. Jika ada air, mereka tidak bisa mengungsi ke hotel di tempat yang kering. Ketika kebakaran hutan, mereka tidak bisa naik ke pesawat udara dan pindah ke kota lain hingga asap hilang.
Merekalah sesungguhnya yang menjadi tumbal atas kemakmuran infrastruktur yang dinikmati kaum kaya dan kelas menengah kita.
Anda mungkin terpesona dengan jalan-jalan tol bebas hambatan yang dibangun ribuan kilometer akhir-akhir ini. Namun, pada kenyataannya, sopir-sopir truk pengangkut barang menghindari jalan-jalan itu karena tol yang mahal. Mereka memilih jalan-jalan tradisional tanpa tol supaya masih ada selisih sedikit untuk keluarga mereka. Tentu dengan perjalanan yang lebih lama.
Masih ingat dengan kampung-kampung miliarder di Tuban? Warga beberapa desa digusur untuk kilang penyulingan minyak Pertamina. Setahun lalu, kampung ini menjadi berita karena warganya menerima ganti rugi miliaran rupiah. Mereka memborong mobil dan membangun rumah gedung.
Hanya dalam waktu setahun mereka jatuh miskin. Beberapa waktu lalu, saya membaca mereka berdemo meminta pekerjaan dari Pertamina karena uang mereka sudah habis.
Seringkali kita tertipu karena pandangan kita yang sangat pendek. Kita abai akan hal-hal jangka panjang.
Para politisi sangat tahu akan hal itu. Mereka akan menyilaukan pandangan publik untuk jangka pendek. Mereka dengan sabar menunggu Anda untuk lupa. Dan itulah yang paling mereka inginkan, yaitu Anda menjadi pelupa.
Kejadian-kejadian akhir-akhir ini juga menunjukkan perubahan taktik dan strategi dari para politisi dan elite penguasa. Jika Suharto memakai penindasan bersenjata, maka para penguasa masa kini mempergunakan manipulasi untuk menyilaukan pandangan mata orang-orang miskin kelas bawah ini.