Oleh Ibrahim Ambong
Pada 9 Februari 2021 kita mendengar bahwa Prof. Yahya Muhaimin telah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kita kehilangan seorang yang dikenal sebagai tokoh intektual, pendidik, dan menteri. Sekalipun demikian orang mengenal pula dia sebagai orang yang bersahaja. Untuk itu Yahya Muhaimin patut dikenang.
Yahya Muhaimin memulai kariernya sebagai dosen Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada pada tahun 1972. Dia segenerasi dengan Amin Rais dan Ichlasul Amal. Ketiganya dikenal sebagai dosen muda di kampus yang sama pada era 1970-an.
Perkenalan saya dengan pak Yahya terjadi ketika dia mengajarkan Ilmu Perbandingan Sistem Politik pada tahun 1973. Suatu mata kuliah yang sangat menarik yang menimbulkan gairah untuk berdiskusi lebih dalam. Entah apa penilaiannya terhadap saya akhirnya ia mengajak saya membantunya sebagai asisten dosen.
Menyadari bahwa gaji seorang asisten dosen itu kecil, dia lalu menawarkan akan membantu dengan memberikan sebagian gajinya. Di samping itu untuk mendorong lebih jauh, dia menekankan bahwa profesi dosen mempunyai tempat tersendiri di mata masyarakat.
Selama mendampingi Pak Yahya, kami banyak berdiskusi. Kadangkala sehabis kuliah kami menyempatkan ke toko buku atau makan nasi pecel di sudut Fakultas Pertanian. Di kemudian hari saya memutuskan ke Jakarta untuk memulai karier.
Yang menjadi fenomenal dan menginspirasi banyak orang adalah skripsinya untuk mencapai gelar sarjana. Pada tahun 1970 ia berhasil mencapai sarjana dengan mengupas peranan militer dalam politik di Indonesia. Biasanya mahasiswa Jurusan Hubungan Intenasional nembahas politik internasional.
Tapi mungkin kemampuannya meyakinkan dosen pembimbingnya bahwa topik itu masih dalam ruang lingkup politik dan belum ada orang Indonesia yang menulisnya, maka dia mendapat ‘lampu hijau’. Yang memulai menulis tentang militer justru orang asing, seperti Roger K. Paget, Daniel S. Lev dan lain sebagainya.
Skripsi Yahya Muhaimin itu berhasil mendapat penghargaan sebagai karya terbaik. Di bawah judul Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966 karyanya itu dicetak ulang berkali-kali.
Point yang penting dalam karya itu alur cerita yang menggambarkan suasana keinginan politisi sipil yang lebih menekankan diplomasi daripada perjuangan bersenjata pada awal kemerdekaan.