Senin, November 18, 2024

Perlintasan agama dalam sirkuit politik Indonesia 2024

Must read

Begitu pula dalam survei terhadap pilihan terhadap partai politik. Survei Indikator Politik dan Charta Politika menunjukkan pola yang hampir sama. Dalam survei yang dilakukan bulan Januari tahun ini, PDIP, Gerindra dan Golkar secara berurut adalah tiga besar. Dan besaran yang belum menjawab atau belum menentukan pilihan masih di atas 20 persen. Suatu jumlah signifikan yang bisa mengubah pemenang pemilu. Mengingat selisih di antara satu dengan lainnya dalam tiga besar maksimal hanya 15 persen.

Dalam perilaku politik pragmatis, dimana pilihan politik tidak lagi didasari atas hal-hal yang bersifat konvensional, seperti platform ideologi partai atau aliran politik, marketing politik menjadi tumpuan utama untuk bisa menjadi pemenang dalam kontestasi.

Meskipun secara teoritis marketing politik digunakan untuk membantu terjadinya efektivitas dan efiseiensi bekerjanya institusi-institusi politik sejenis partai politik, pada prakteknya, marketing politik menjadi upaya segala cara untuk mempengaruhi pilihan politik konstituen yang dilakukan secara langsung (bertemu) atau menggunakan berbagai media.

Pangkal persoalan terutama dalam dua kali Pemilu terakhir, strategi marketing politik memanfaatkan isu-isu agama dan masuk ke arena sensitif dengan tujuan menjatuhkan lawan. Kelompok-kelompok garis keras yang mengatasnamakan agama, menjadi garda depan yang secara langsung melakukan aksi-aksi turun ke jalan untuk memperkuat isu yang beredar melalui media sosial maupun media cetak instan.

Kontestasi politik menjadi ajang perbenturan kelompok-kelompok sosial dengan latar belakang beragam. Isu dengan latar belakang keagamaan yang paling potensial memicu terjadinya konflik yang lebih besar. Lalu, apakah dalam Pemilu 2024 mendatang situasi seperti ini akan terjadi kembali?

Redupnya Garis Keras

Sedikitnya ada dua sinyalemen penting yang membedakan warna perlintasan agama dalam sirkuit politik 2024. Pertama, meredupnya kelompok-kelompok Islam garis keras. Pasca pembubaran organisasi-organisasi yang popular disebut gerakan Islam garis keras seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam ((FPI) pimpinan Habib Rizieq Shihab (HRS), gerakan yang sering mengatasnamakan aspirasi politik umat Islam cenderung meredup.

Pembubaran teradap HTI pada 19 juli 2017, dan di penghujung tahun 2020, pemerintahan Presiden Jokowi memutuskan menghentikan dan melarang semua kegiatan FPI. Hanya riak-riak kecil dari para personil organisasi tersebut yang muncul dan tidak memiliki pengaruh signifikan.

Meredupnya gerakan politik garis keras berbasis keagamaan dengan sendirinya akan berpengaruh pada acara-cara pemanfaatan isu keagamaan dalam marketing politik yang dimainkan kontestan. Aksi politik dengan pengerahan massa dalam jumlah besar sebagai bagian dari pembenaran atas isu tertentu, besar kemungkinan tidak akan terjadi.

Betapapun figur tertentu masih memungkinkan untuk bisa memiliki pengaruh besar, tetapi ketiadaan organisasi semacam FPI yang memiliki simpatisan besar perkotaan, akan sulit menjadi gerakan politik eksponensial.

Kedua, menguatnya gerakan politik moderat santri yang dikibarkan dengan pendekatan budaya. Fachry Ali dalam Kompas (12, Feb 2022), membuat tulisan mengenai masuknya kalangan muda (dibahasakan adanya pembeliaan) dalam struktur baru kepengurusan NU membembentuk “Sejarah Publik” bagi kalangan santri (NU) untuk mengisi ranah arena politik dalam cakupan yang luas.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article