Sanggahan terhadap mereka juga datang dari Prof. Dr. Ismail Suny, Prof. Dr. Harun Alrasyid dari UI dan Prof. Dr. Laica Marzuki dari UNHAS. Para politisi yang menganggap berhentinya Presiden Suharto tidak sah antara lain Prof. Dr. Subroto dan Prof. Emil Salim, dua mantan menteri Suharto, dan Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta.
Secara berseloroh saya katakan kepada Ali Sadikin, saya heran beliau mengatakan cara berhentinya Presiden Suharto tidak sah. Kalau tidak sah berarti Suharto masih Presiden RI yang sah. Apa itu yang Pak Ali Sadikin mau?
Tahun 1998 itu ada 100 orang advokat yang menamakan dirinya “Advokat Reformasi” yang menggugat keabsahan berhentinya Presiden Suharto ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memanggil saya untuk didengar keterangannya mengenai proses, prosedur dan landasan hukum berhentinya Suharto dan keabsahan pergantiannya oleh Wapres BJ Habibie. Saya memenuhi permintaan majelis hakim. Akhirnya Majelis hakim memutuskan menolak gugatan 100 Pengacara Reformasi itu.
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis berpendapat bahwa prosedur berhentinya Presiden Suharto dan digantikan BJ. Habibie adalah sah menurut hukum. Saya kemudian bertanya kepada Suhana Natawilana, SH, salah seorang tokoh penggugat, apakah akan ajukan banding. Dia bilang tidak, mereka menerima putusan PN Jakarta Pusat itu.
Banyak orang yang tidak tahu bahwa polemik keabsahan berhentinya Presiden Suharto dan naiknya BJ Habibie itu akhirnya masuk ranah pengadilan dan ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Saya mengungkapkan kembali peristiwa berhentinya Presiden Suharto dan digantikan BJ. Habibie itu sebagai catatan sejarah bahwa legalitas dan legitimasi penyelenggara negara itu sangat penting untuk mencegah meluasnya konflik politik.
Persoalan penundaan Pemilu yang berimplikasi kepada legalitas dan legitimasi kekuasaan ini tidak bisa diselesaikan dengan usulan-usulan Ketua-Ketua Umum Parpol yang sarat dengan kepentingan politik. Meskipun usul itu kemudian disepakati oleh semua partai yang punya wakil di DPR, DPRD dan MPR, tetapi kesepakatan itu bukanlah kesepakatan lembaga-lembaga negara yang resmi dan legitimate untuk mengambil keputusan menurut UUD 45.
Saya berpendapat, penundaan Pemilu 2024 itu hanya mungkin mendapatkan keabsahan dan legitimasi jika dilakukan dengan menempuh tiga cara: (1) Amandemen UUD 45; (2) Presiden mengeluarkan Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner; dan (3) Menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.
Ketiga cara ini sebenarnya berkaitan dengan perubahan konstitusi, yang dilakukan secara normal menurut prosedur yang diatur dalam konstitusi itu sendiri, atau cara-cara tidak normal melalui sebuah revolusi hukum, dan terakhir adalah perubahan diam-diam terhadap konstitusi melalui praktik, tanpa mengubah sama sekali teks konstitusi yang berlaku.