Rabu, Desember 25, 2024

Surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo

Must read

Surat ini saya kirimkan dipicu pernyataan Presiden Jokowi pada headline harian Kompas, Sabtu 5 Maret 2022, menanggapi wacana penundaan Pemilu 2024. Presiden Joko Widodo menyatakan:

“Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan (masa jabatan presiden), menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas saja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi, Kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi”.

Bapak Presiden Jokowi Yth.

Sekilas, pernyataan Bapak itu terkesan normal dan benar-benar saja. Namun, jika ditelisik lebih dalam, maka pernyataan itu mengandung banyak kesalahan mendasar. Penundaan pemilu—yang secara konsep ketatanegaraan lebih tepat merupakan pembatalan—adalah persoalan yang harus disikapi dengan lebih jelas dan tegas. Tidak boleh mendua. Jangan abu-abu. Ini persoalan hitam-putih menjalankan konstitusi bernegara.

Pembatalan Pemilu 2024 adalah sikap yang terang-benderang menabrak UUD 1945. Bukan hanya satu, tapi banyak pasal yang dilanggar. Di antaranya adalah soal Indonesia negara hukum, Pasal 1 ayat (3). Menghilangkan pemilu menyebabkan Indonesia lebih mengedepankan negara berdasarkan nafsu kekuasaan belaka (machtstaat), dan jauh menyimpang dari negara berdasarkan hukum (rechtstaat).

Usulan membatalkan pemilu, yang implisit mengandung hasrat memperpanjang masa jabatan petahana Presiden-Wakil Presiden, parlemen pusat dan daerah, bahkan kepala daerah, jelas-jelas bertentangan dengan pembatasan masa jabatan presiden, Pasal 7; anggota DPR, DPD, dan DPRD dipilih melalui pemilu, Pasal 19 ayat (1), 22C ayat (1); dan 18 ayat (3); kepala daerah dipilih secara demokratis, Pasal 18 ayat (4); dan pemilihan umum dilaksanakan berkala setiap lima tahun, Pasal 22E ayat (1).

Tentang pembatalan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan menabrak UUD 1945 tersebut, tidak ada keraguan atasnya. Sejauh ini, saya tidak melihat ada ahli hukum tata negara dan politik yang berbeda tafsir soal pelanggaran itu. Semua sepakat. Maka, pernyataan Bapak Presiden yang di satu sisi menyatakan tunduk dan patuh pada konstitusi, namun pada sisi yang lain memberi ruang wacana penundaan pemilu bergulir dengan alasan konsekuensi berdemokrasi adalah sikap mendua yang keliru dan fatal.

Sikap tunduk dan patuh harusnya dikunci dengan pernyataan, stop membicarakan pembatalan pemilu dan perpanjangan masa jabatan. Titik. Hitam-putih. Jangan dibuka ruang abu-abu. Jangan dibuka ruang tafsir yang lain.

Memberi koma pada pernyataan itu, dengan tetap mengizinkan mendiskusikannya—seolah-olah menghormati kebebasan berpendapat, tetapi sejatinya memberi kesempatan pikiran liar itu mengalir, tanpa tindakan tegas menghentikan. Padahal sudah jelas, usulan pembatalan pemilu yang dibiarkan, seolah-olah menemukan pembenarannya melalui perubahan UUD 1945.

Karena itu, saya membaca kalimat Presiden Jokowi banyak sayap dan maknanya. Satu sisi, taat dan tunduk pada konstitusi, sisi lain membiarkan usulan penundaan pemilu tetap berkembang dengan alasan demokrasi.

Padahal jika dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan penundaan pemilu itu dicari akal-akalannya melalui perubahan UUD 1945. Karena itu, saya membaca kalimat bersayap, “Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi”. “Sudah pada pelaksanaan” dalam kalimat itu, bisa bermakna pelaksanaan pasca konstitusi yang diakal-akali untuk diubah, yang melegitimasi pembatalan pemilu dan memperpanjang masa jabatan.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article