Ada banyak pemimpin punya mimpi besar tapi tak semua berani mewujudkannya. Presiden Jokowi termasuk jenis pemimpin yang punya mimpi dan berani mewujudkannya. Dengan tekad kuat dia memimpin “kick start” pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, sebuah kota masa depan bernama Nusantara. Upacara itu dimulai di Titik Nol IKN, kemarin sore.
Saya kerap mendengar sinisme, cibiran, atas inisiatif strategis yang lewat undang-undang kini menjadi proyek bangsa ini. Suatu hal yang wajar mencerminkan keberagaman pendapat.
Tapi, sebagai pemimpin, Presiden Jokowi tetap berjalan dengan semangat besar. Saya tahu dia juga mendengar banyak suara sumbang; bahwa ini adalah proyek boros di atas Rp500 triliun, bahwa belum saatnya kita pindah ibukota, bahwa kota baru itu akan gagal dan sepi seperti sejumlah kisah pemindahan ibukota, baik lokal maupun global.
Saya yakin Presiden Jokowi sudah memperhitungkannya dengan matang. Kita tahu Jakarta, kota kesayangan, sudah begitu sesak, dan ancaman perubahan iklim akan segera membuat kota andalan sejak zaman Belanda ini akan menghadapi problem lingkungan yang berat. Ratusan tahun, Jakarta (dulu Batavia) juga telah menjadi “center of growth” dan dampaknya pertumbuhan ekonomi menjadi terpusat di Pulau Jawa.
Kota-kota di luar Jawa adalah sekunder, dan merangkak pelan, sebagian masih tumbuh dalam keterbatasan. Lebih separuh jumlah uang beredar di Jakarta, dan selebihnya baru terpercik ke luar Jawa. Sebuah gap, jurang yang akan mengancam renggangnya hubungan ekonomi, sosial, politik, dan budaya di Indonesia di masa depan.
Presiden Jokowi tampaknya menyadari hal ini. Dia memindahkan Ibukota dengan harapan Indonesia di abad 21 harus mampu menyatukan semua potensi dan kekuatan untuk menjadi bangsa besar di tengah perubahan global. Dia ingin menggeser “center of growth” Indonesia secara simbolik tidak lagi di Pulau Jawa, sebuah pulau yang makin miskin sumberdaya alam, dengan populasi yang terus tumbuh pesat.
Meskipun gagasan ini sudah pernah dipikirkan oleh Presiden Sukarno di awal 1950an dengan melihat Palangkaraya sebagai calon ibukota baru, namun gagasan itu tertunda oleh banyak sebab. Indonesia, republik yang muda saat Sukarno memimpin, ditimpa banyak problem berat ihwal ekonomi, dan juga politik.
Presiden Jokowi tahu apa yang akan dilakukannya adalah sebuah langkah besar dan revolusioner. Dia membayangkan Indonesia yang “pasca-Jawa”, sebuah republik yang makin kuat buhul ikatannya dari arkipelago Sabang sampai Merauke. Dia membayangkan Indonesia masa depan harus menjadi “nation-state” yang kokoh, sebuah Indonesia yang telah “menjadi”.
Dan tekad itu semua harus ditunjukkan dengan komitmen nasional yang mencermikan keadilan, yang menatap timur dan barat sama pentingnya, dan tak boleh satu daerah pun dibiarkan tertinggal. Seperti Sukarno dulu memilih Kalimantan, Jokowi melakukan hal sama. Kalimantan adalah daerah yang netral, terletak persis di tengah arkipelago, dan cukup lama menjadi titik pertemuan dari berbagai suku.
Itu pula, saya kira, yang mendorong Presiden Jokowi mengajak 34 gubernur dan para menteri untuk hadir di “kick start” pembangunan IKN dengan seremonial simbolik: mengumpulkan segumpal tanah dan semangkuk air dari seluruh penjuru Nusantara.