Oleh: Made Supriatma
Saya senang bahwa yang menjadi bintang pada balapan montor di sirkuit baru itu adalah seorang pawang hujan. Ia perempuan muda. Dan, saya senang kabarnya dia berhasil menghentikan hujan.
Dalam KBBI, pawang adalah “orang yang mempunyai keahlian istimewa yang berkaitan dengan ilmu gaib, seperti dukun, mualim perahu, pemburu buaya, penjinak ular.” Memang, Rara — nama pawang hujan ini — memiliki keahlian menghentikan hujan itu. Walau pun itu tidak berada dalam wilayah keyakinan saya.
Saya memperhatikan berita-berita di media. Hampir semua mengatakan bahwa Rara sekarang mendunia. Tentu tidak sembarangan orang bisa menghentikan hujan.
Saya baca (https://cnn.it/3N401zD) bahwa sebuah perusahan di Inggris bisa menghentikan hujan. Tepatnya memindahkan hujan. Namun itu butuh waktu 6 minggu untuk persiapan dan beayanya sekitar US$150,000 (lebih dari dua miliar!).
Sementara Rara hanya perlu sesajen dan cawan yang dipukul-pukul sebagai modalnya. Dan, anehnya, bagaikan ular ketemu tongkat, hujan melarikan diri. Dan Rara sendiri kemudian menjadi sensasi.
Orang kemudian menghubungkannya dengan “kearifan lokal.” Nama Rara kemudian “mendunia” dan nama Indonesia pun juga “mendunia” akibat berhasil secara sukses menyelenggarakan balapan MotoGP.
Dan seperti biasa, kita bangga. Seakan semua urusan dunia berhenti karena balapan ini. Kita bangga dengan Mandalika. Dan tentu dengan Rara yang mendunia.
Tadi siang, saya di di kasir sebuah jaringan supermarket. Ketika saya sedang dilayani, seorang ibu tiba-tiba bertanya ke kasir, “Mbak harga minyak goreng sudah turun?” Wajahnya kelihatan cemas.
Kasir dengan sabar mengatakan, “Belum, Bu. Harga masih 26 ribu per liter. Dan tidak boleh membeli lebih dari dua liter.”
Ibu itu ternyata sudah membawa dua liter minyak goreng. Dia melihat dompetnya. Saya intip uangnya kurang. Hanya ada selembar Rp 20 ribu di sana. Akhirnya, minyak goreng itu diletakannya kembali ke keranjang sambil bergumam, “Ora sido.” Artinya, nggak jadi.