Sabtu, November 16, 2024

Ade Armando

Must read

Kekerasan, baik fisik maupun verbal, tetaplah kekerasan

Saya sama sekali tidak bergembira ketika menerima kabar pengeroyokan terhadap Ade Armando (AA), dosen UI dan seorang influencer media sosial. Seorang teman meneruskan video bagaimana insiden itu terjadi. Saya kira butuh beberapa waktu untuk mencernanya dan mengetahui sebab musababnya.

Banyak yang mempertanyakan, mengapa AA ada di dalam demonstrasi yang bukan ‘habitat’-nya? Menurut informasi yang saya terima AA berada di demo itu bersama-sama para aktivis Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS), sebuah organisasi dimana dia adalah inisiatornya.

Ironisnya, AA berada ditengah-tengah demo itu untuk mendukung aspirasi yang hendak disuarakan oleh para pendemo, yakni menolak amandemen konstitusi dan perpanjangan masa jabatan presiden.

Namun demonstrasi ini jelas bukan “habitat” AA. Kehadirannya memancing perhatian. Orang segera mengenalinya. AA terlihat terlibat perdebatan dengan ibu-ibu. Dia diteriaki, kemudian dipukuli, dan sedihnya juga, dilucuti pakaiannya.

Ya, memang butuh waktu untuk mencerna mengapa ini semua terjadi. Kekerasan dalam demonstrasi bukan sesuatu yang aneh di negeri ini. Saya ingat bentrokan-bentrokan antara massa-aksi dengan pihak aparat keamanan pada masa Orde Baru dan sesudahnya,

Saya juga ingat bagaimana pada akhir tahun 1990an, terjadi fenomena yang baru dalam demonstrasi dan oposisi terhadap penguasa.

Pada tahun 1960an hingga 1980an, demo-demo diorganisir dari kampus-kampus besar dan prestisius Indonesia. Ia melibatkan kaum akademisi dan intelektual. Arief Budiman menggambarkannya sebagai peran “begawan” kaum intelektual, yakni kaum intelektual turun dari menara gadingnya ketika terjadi krisis yang melanda masyarakat. Kalau keadaan normal, begawan ini akan kembali ke kampus.

Mitos “begawan” itu masih tetap hidup bahkan sampai saat ini. Namun kenyataan berbicara lain. Para elit demonstran ini, beberapa lama setelah berdemo, entah berhasil atau tidak menumbangkan penguasa, segera masuk ke dalam sistem politik. Mereka menjadi politisi, penguasa, atau pengusaha dengan kontrak-kontrak gemuk, atau kemudian menjadi elit intelektual yang suaranya diperhatikan dengan takzim sekalipun mereka berhenti berpikir.

Awal tahun 1990an memperlihatkan dekadensi kampus-kampus elit Indonesia. Para akademisinya menjadi teknokrat-teknokrat yang melayani rezim penguasa. Para mahasiswanya mulai berubah — mereka berasal dari keluarga-keluarga kelas menengah PNS atau ABRI. Tentu sebagian besar mereka menjadi pro-status quo. Mereka lebih tertarik pada karir daripada politik. Inilah jaman ketika menjadi insinyur seperti Habibie atau menjadi MBA menjadi sangat prestisius.

Gerakan sosial pun berubah. Di kampus-kampus besar bukan tidak muncul gerakan. Anak-anak kelas menengah ini, ketika menghadapi represi politik, menjadi sangat relijius. Akademisi sekular didikan Belanda sudah pensiun. Generasi berikutnya lebih tertarik pada agama, khususnya Islam. Kebangkitan agama mulai dari kampus-kampus khususnya kampus-kampus elit.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article