Sabtu, November 16, 2024

Ade Armando

Must read

Ironisnya, beberapa kali saya membaca bahwa mereka melabelkan demo-demo mahasiswa masa kini sebagai “anarkis,” seakan tindakan mereka saat berdemo dahulu adalah gerakan Mahatma Gandhi.

Apa yang kita pelajari dari semua ini? Satu hal. Baik protes dengan atau tanpa kekerasan, ganjarannya adalah kekuasaan dan kekayaan.

Namun jaman juga berubah. Mode atau cara berkuasa juga berubah. Sebagian besar perubahan itu terjadi karena teknologi. Dan lewat teknologi itulah para penguasa membentuk opini, menciptakan preferensi, membuat sesuatu yang menakutkan dan juga membuat sesuatu yang harus dicintai.

Inilah jaman ide dan inspirasi. Para politisi berkuasa dengan mengeksploitasi identitas — menciptakan kemarahan dan kebencian berdasarkan identitas itu. Dalam kemarahan tidak ada imajinasi kecuali kebencian.

Sekaligus, orang juga dipaksa untuk bangga kepada hal-hal yang dangkal (banal). Kalau kamu tidak senang dengan Sirkuit Mandalika maka kamu tidak cinta Indonesia. Apa yang lebih dangkal dari keindonesiaan yang diukur dari Mandalika, IKN, atau panjangnya jalan tol yang tarifnya sekarang naik itu?

Demikianlah. Kita tidak punya pemimpin dengan pemikiran yang mengimajinasikan masyarakat masa depan. Kita bahkan tidak ingat lagi bahwa, misalnya, Republik ini didirikan untuk mewujudkan “keadilan untuk semua.”

Kita tidak memiliki pemimpin namun kita memiliki ‘influencers.’ Dan kita memperlakukan para influencers itu seperti para pemimpin kita. Atau, para pemimpin kita memimpin dengan berlagak seperti influencers dengan populismenya yang murahan itu.

Dan, kita juga memberlakukan apa yang disebut “cancel culture” atau kebudayaan mengasingkan atau meniadakan yang tidak kita sukai. Kita meng-cancel apa saja yang kita anggap tidak berada dalam zona nyaman kita.

Mode berkuasa pada jaman ini adalah dengan menciptakan imajinasi keblinger cancel culture ini. Dan, ironisnya, cancel culture ini diciptakan oleh mereka yang menganggap dirinya paling toleran. Mereka yang menganggap dirinya pejuang pluralisme. Mereka yang memperjuangkan kebebasan apa saja.

Saya kira, disinilah sambungan antara kekerasan terhadap AA dengan seluruh bangunan sistem kekuasaan kita. AA menjadi bagian dari pertarungan itu.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article