Tidak perlu waktu terlalu lama, rekan-rekan AA dalam satu barisan di media segera memproklamirkan bahwa pelaku-pelaku pengeroyokan terhadap AA adalah para “kadrun.” Anda tentu hapal dengan kata kunci yang senantiasa dipakai dalam provokasi online.
Siapa saja yang tidak sepakat dengan mereka langsung mendapat cap “kadrun” atau kadal gurun. Itulah istilah yang diciptakan oleh kelompok ini. Maknanya tertuju pada kadal yang volume otaknya kecil, yang hidup di gurun — sebuah metafor sarkastik untuk menggambarkan kebodohan yang fanatik dalam beragama.
Indonesia tanpa kadrun adalah jelas metode ‘cancelling’ yang sangat efektif. Dan mereka yang mengucapkannya, menurut saya, seringkali melakukan kekerasan semantik terhadap obyek yang dikadrunkan.
Orang-orang ini selalu mengkotbahkan persatuan, toleransi, kebebasan. Mereka merasa berada di tataran moral yang lebih tinggi dari para kadrun — ‘hollier than thou mentallity.’ Namun persis pada saat itulah sebenarnya mereka menyingkirkan apa yang mereka tidak sukai dan inginkan. “Indonesia tanpa kadrun!” Tanpa pernah mau mengakui bahwa mereka yang mereka tuding sebagai kadrun itu adalah warga negara juga.
Bukankah ini adalah sebuah bentuk kekerasan juga? Saya tidak paham kalau ini bukan.
Para pelaku kekerasan fisik ini terprovokasi oleh kekerasan verbal yang pernah diucapkan kepada mereka. Selain sebutan ‘kadrun’ lihatlah serangan online yang dilakukan terhadap demonstrasi ini — dari ejekan bahwa mereka dibayar hingga ke nasi bungkus dan segelas aqua untuk para demonstran.
Sekali lagi, saya sama sekali tidak senang dengan kekerasan yang menimpa AA. Namun, disisi yang lain, kekerasan ini membuat saya merefleksikan bahwa ada hubungan yang sangat jelas antara kekerasan fisik dan kekerasan secara naratif yang dibangun oleh AA dan kawan-kawannya.
Gambar: Pesona Non Grata dalam level pribadi adalah bentuk cancelling juga.
Oleh Made Supriatma