Lebih konyol lagi, Ade sebenarnya juga menulis di bulletin abal-abal, mengklaimnya sebagai karya ilmiah dia. Kesimpulan saya, dia hanya berdalih untuk menutupi kegagalan atau ketidakmampuan dia menghasilkan karya ilmiah di jurnal internasional.
Debat itu berlanjut ketika kami berinteraksi kembali di WAG, dengan gaya diskusi kelas spam Ade Armando yang berulang menyebut saya kacung karena bekerja di perusahaan asing. Tak ada debat intelek lagi.
Secara keseluruhan saya menilai Ade tak cukup intelek. Kritik-kritik dia terhadap ajaran Islam tidak didasari dengan pengetahuan yang memadai tentang ajaran yang ia kritik. Suatu saat kami diskusi soal ayat Quran, saya cek pengetahuan bahasa Arabnya, ternyata nol. Kritiknya murni berdasar terjemahan. Plus, ia pun tak menguasai materi yang ia kritik, yaitu tentang pergerkaan matahari serta kejadian siang dan malam.
Dari berbagai interaksi itu saya menilai Ade bukanlah intelektual yang jujur dan berintegritas. Ia banyak bcara soal-soal yang tak ia pahami, ia sampaikan secara provokatif. Terakhir ia menuduh Fisip UI yang isinya kadrun menjegal usulan profesor dia. Dengan kualitas publikasi ipmiah yang minim (h-index cuma 1), Ade memang tak patut jadi profesor. Tapi ia menyebarkan isi lain terkait soal itu.
Tapi saya tetap mengutuk kekerasan yang dia alami. Saya berbeda pandangan, tapi itu tak membuat Ade jadi musuh saya. (Kang Hasan)