Minggu, November 24, 2024

Tiga Menguak Rasisme 

Must read

Terus terang saja, artikel ini merupakan anjuran kepada para elite politik agar mencermati dan mengikis rasisme dalam kehidupan kita. Bukannya justru mengipas-ngipas bara yang mulai menyala itu. Dalam versi sedikit berbeda, berikut adalah tulisan opini yang dimuat di Koran Tempo, 20 Mei 2022. – Idrus F. Shahab

Indonesia kini nyaris tak bisa dikenali lagi. Bahkan belakangan ini, politik elektoral yang diperparah dengan meningkatnya ujaran kebencian di media sosial telah membelah negeri tercinta ini lebih jauh: kalangan nasionalis di satu pihak, dan kalangan islamis di lain pihak. Dan hampir setiap topik sekonyong-konyong menjadi “panggung” kontestasi dua kelompok yang berbeda haluan itu. 

Bukan cuma lenyapnya tersangka suap komisioner KPU Harun Masiku yang tak jelas di mana rimbanya, atau pengunduran diri Tsamara Amany dari Partai Solidaritas Indonesia yang disamakan dengan hijrahnya perempuan keturunan Arab itu ke kubu lawan yang menjadi ajang sengketa pendapat mereka. Perang Rusia – Ukraina yang berkobar “nun jauh di seberang lautan” itu pun tiba-tiba menjadi “dekat” dan arena petarungan untuk menegaskan “kebenaran” menurut versi masing-masing. 

Konflik itu semakin tak masuk akal manakala rasisme mulai merasuki arena pertarungan. Gerah dengan kata-kata provokatif yang diutarakan beberapa pendakwah keturunan Arab (Hadramaut), beberapa netizen mempersilahkan kaum hadrami segera angkat kaki dari negeri ini.

Dari kubu yang berseberangan pun muncul pembelaan sistematik, seraya membeberkan daftar panjang kontribusi orang-orang yang memiliki garis keturunan dari negeri di barat daya Semenanjung Arabia itu dalam perang melawan kolonialisme, perang kemerdekaan, termasuk perjuangan diplomasi di dunia internasional. 

Dengan jurus menonjolkan kontribusi kaum sendiri dan menyembunyikan sumbangan pihak lawan, masing-masing kelompok mengklaim lebih nasionalistis dari yang lain. 

Terlalu banyak energi yang dikerahkan dan waktu yang dikorbankan untuk satu noktah dalam perjalanan demokrasi di negeri ini: pemilihan umum 2024. Melihat keterbelahan yang semakin dalam dan absurd ini, tampaknya sudah saatnya kita mengetengahkan persahabatan –ketimbang persaingan– di antara etnik di atas. Diakui atau tidak, Indonesia yang terbelah ini tengah membutuhkan simpul-simpul perekat, bukan saja dalam bentuk ideologi, tapi juga dalam keteladanan. 

Dan para pendiri negeri yang bersemangat anti-rasis seperti dokter Soetomo, AR Baswedan, dan Liem Koen Hian merupakan contoh yang bukan hanya tepat untuk menegaskan bahwa kemerdekaan merupakan kerja kolektif bangsa yang lintas etnik, tapi juga sebagai teladan. Apalagi ketiganya kebetulan hidup dalam ruang dan waktu yang sama: manakala kaum progresif negeri sibuk menghimpun kekuatan dan identitas bersama untuk melawan kolonialisme Belanda pada 1930-an. 

Soetomo, AR Baswedan dan Liem Koen Hian, masing-masing pernah mengulurkan tangan untuk menolong rekannya, serta membangun persahabatan lintas etnik yang tidak hanya berdampak personal, tapi juga strategis. Baswedan tidak mungkin lupa kegigihan dokter Soetomo mempertahankan dirinya di harian “Soeara Oemoem” kala sejumlah kawannya merasa terusik dengan keberadaan seorang peranakan Arab asal Surabaya di media kaum nasionalis. Lulusan Stovia, juga pencetus Sumpah Pemuda Oktober 1928 itu adalah pemimpin redaksi harian “Soeara Oemoem” ketika itu. 

Tekanan sebagian kalangan nasionalis agar Soetomo membatalkan kebijakan di kantor “Soeara Oemoem” Surabaya itu lumayan berat, bahkan sampai menimbulkan polemik. Di Batavia, harian kiri “Bintang Timoer” ikut meramaikannya dengan rangkaian penolakan: Soetomo telah melakukan kesalahan besar dengan memasukkan “bangsa asing” (AR Baswedan, dan Tjoa Tjie Liang, seorang peranakan Tionghoa) ke dalam redaksi media tersebut. 

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article