Minggu, November 24, 2024

Tiga Menguak Rasisme 

Must read

Namun Soetomo membantah dengan keyakinan tak terbantahkan: mereka bukan orang asing. Keduanya lahir di Surabaya, dan menjadi bagian dari perjuangan warga Surabaya yang melawan Belanda. Kecaman tak berhenti, tapi sikap Soetomo sekukuh batu karang: ia tetap bersama AR Baswedan dan Tjoa Tjie Liang di surat kabar itu. 

Inilah Indonesia pada 1930-an. Sentimen rasial, baik yang sengaja ditanamkan kolonialis lewat kebijakan ‘Vreemde Oosterlingen’ yang menggolongan warga Hindia Belanda berdasarkan etnik, jelas telah menyemaikan rasisme. Sementara rasisme dalam bentuk lain seperti stereotip sederhana yang menilai orang keturunan sebagai “liyan” atau the other, atau penggunaan sentimen rasial demi mengkonsolidasi kekuatan sendiri di antara masyarakat yang heterogen itu masih belum tumpas. 

Namun ketiga tokoh ini –Soetomo, Baswedan dan Liem Koen Hian– yang telah makan garam menghadapi konflik di komunitas etnik masing-masing itu sepertinya tengah menjalani legasi yang sama. Berhasil membidani kelahiran “Sumpah Pemuda Keturunan Arab”, 4 Oktober 1934 di Semarang, Baswedan sempat menjadi orang yang dibenci sebagian kalangan totok (wulaiti), namun kemudian disayang sebagian besar kaum peranakan. 

Sumpah Pemuda Keturunan Arab — menurut istilah resminya “Hari Kesadaran Indonesia – Arab”, menegaskan bahwa Indonesia, dan bukan hadramaut, tanah air mereka. Untuk itu, tak ada jalan selain meninggalkan kehidupan menyendiri, dan mereka pun harus memenuhi kewajiban terhadap tanah air dan bangsa Indonesia. Satu langkah berani yang menampik kebijakan ‘Vreemde Oosterlingen’ yang diskriminatif, sekaligus menegaskan keberpihakan kepada kaum republiken. 

Sama seperti Baswedan yang banyak menguras energinya untuk melawan etnosentisme dan egosentrisme di dalam komunitasnya, Liem Koen Hian menghadapi persoalan identitas kelompok yang bahkan boleh jadi lebih pelik. Dikenal cerdik dan nekat, Liem Koen Hian sibuk meyakinkan komunitas keturunan Tionghoa yang terpecah-belah untuk melibatkan diri dalam perjuangan melawan penjajah. 

Dalam ‘Indonesierschap’ (warga negara Indonesia)-nya, ia mengangankan komunitas Tionghoa yang terasimilisi dengan baik dalam masyarakat Indonesia. Gagasan yang mendapat penolakan keras dari kaum nasionalis Cina, kalangan oportunis yang senantiasa memburu kepentingan sendiri, dan para loyalis pro-Belanda di Hindia Belanda. 

Di mata Liem, kerjasama dengan pemerintah Belanda tidak membuat posisi mereka disamakan dengan warga kelas satu: orang-orang Eropa dan Belanda. Bergabung dengan pergerakan adalah jalan keluar satu-satunya untuk membangun Indonesia merdeka dan bebas diskriminasi. 

Di lapangan sepak bola Pasar Turi, Surabaya, dua pemuda, satu bertubuh tinggi besar – bermata sipit, satu lagi tinggi kurus-berhidung mancung bertemu dan berbincang serius. Liem mengajak Baswedan bergabung dalam surat kabar nasionalis yang tengah dipimpinnya ‘Sin Tit Po’, dan Baswedan menyambutnya dengan sukacita. Sama-sama berhaluan nasionalis, susunan redaksi di harian Tionghoa yang berbahasa melayu itu sekarang lebih multi-etnik dibanding, misalnya, “Soeara Oemoem.” 

Sementara itu di lapangan hijau berlangsung pertandingan untuk memprotes diskriminasi federasi klub-klub Eropa terhadap para wartawan kulit berwarna. Liem menyerukan pemboikotan pertandingan federasi, lalu menyelenggarakan pertandingan antar kesebelasan kulit berwarna. Meski harus menghabiskan dua bulan di penjara, Liem dinilai berhasil. Para penonton lebih suka menyaksikan pertandingan kesebelasan kulit berwarna, ketimbang kulit putih. Federasi mengalami rugi besar. 

Baswedan banyak belajar dari Liem yang lebih senior dan berpengalaman, baik dalam politik maupun jurnalisme. Namun gaya dan perangai Liem yang tak mengenal kompromi itu acap membuat perjalanan hidupnya tak mulus.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article