Suatu ketika, terganggu dengan kritik Liem yang semakin tajam, lelaki peranakan kelahiran Banjarmasin ini pun menjadi buronan yang paling dicari oleh tentara pendudukan Jepang. Ia lenyap seperti ditelan bumi. Dan tiada yang tahu bahwa seorang lelaki bertubuh bongsor, bersarung dan berkopiah yang menginap di tempat kediaman AR Baswedan adalah Liem seorang. Untuk sekian lama, Baswedan yang tidak sekonfrontatif Liem menghadapi Jepang itu menyembunyikan pendiri Partai Tionghoa Indonesia itu di rumahnya.
Kejadian demi kejadian besar lantas menimpa bangsa ini. Sidang-sidang BPUPKI, PPKI, bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyerah, proklamasi 17 Agustus 1945; dan kini Indonesia tidak lagi merebut, tapi mempertahankan kemerdekaan. Ironis sekali, inilah awal duka yang panjang buat Liem. Negara yang dicintai dan dibayangkan bak keluarga besar yang “hangat” dengan segenap warga ternyata tak sebersahabat itu. Sidang BPUPKI menolak gagasan asimilasi Indonesierschap-nya Liem.
Hubungan Liem dengan Negara boleh jadi terbilang personal. Ia yang mengharapkan semua orang Tionghoa di sini secara otomatis jadi warga Indonesia itu tentunya merasa penolakan ini teramat menusuk. Banyak cerita tentang kekecewaan Liem di kemudian hari, tapi itu semua tak mengurangi bahwa ia –bersama Baswedan dan dokter Soetomo– merupakan teladan anti-rasisme dan anti-diskriminasi yang layak dikenang. Terutama di saat-saat rasisme muncul kembali di dunia politik kontemporer kita saat ini.
Ya, sudah saatnya para elite politik meneladani ketegasan tokoh-tokoh di atas melawan rasisme dan diskriminasi di tanah air tercinta ini. Bukankah keberhasilan sebuah demokrasi juga ditentukan oleh kualitas perlindungan Negara terhadap minoritas. (*)