Berbeda dari mereka semua, Syafii satu-satunya yang menekuni studi Islam, bukan di Al Azhar seperti ribuan santri sebelumnya, tapi di Universitas Chicago, Amerika Serikat — meski “belajar Islam ke Barat” sudah dimulai oleh satu-dua orang dari generasi sebelumnya seperti H.M Rasjidi (Prancis dan Kanada) dan Harun Nasution (Kanada).
Beberapa bulan sesudah kepulangan Syafii, kembali pula Nurcholish Madjid, juga dari Chicago, dan sama-sama dibimbing oleh Fazlur Rahman. Suatu kali Cak Nur diundang berdiskusi di kampus UII bersama Fachry Ali, dengan moderator Habib Chirzin. Acara itu benar-benar menyegarkan. Dan malam harinya diadakan diskusi terbatas di sebuah hotel — semua orang ingin memanfaatkan optimal kehadiran Cak Nur.
Saya terlalu muda untuk punya hak hadir di acara yang sangat terbatas itu. Tapi Pak Syafii mengajak saya, dan dengan itu kursi saya terjamin tersedia di acara itu. Sedikit pun tidak ada materi diskusi itu yang saya ingat. Saya hanya terpesona oleh kecemerlangan Cak Nur yang, menurut Kiai Hamam Dja’far yang pernah sekamar dengan Cak Nur di Pondok Gontor, “ayat Quran dan hadis selalu ada di ujung lidahnya”, sehingga sangat mudah bagi Cak Nur untuk mengeluarkannya setiap ia memerlukannya.
Sambil berjalan keluar dari hotel, Pak Syafii bertanya, “Bagaimana pendapat Anda tentang diskusi tadi?”
“Saya jadi malas belajar, Pak,” jawab saya sekenanya.
“Lho, kenapa?”
“Sekeras apapun saya belajar, saya tidak akan bisa sepintar Nurcholish Madjid… Orang itu hebat sekali!”
Pak Syafii menyergah, “Tidak benar sikap Anda! Keliru! Anda pasti mampu…”
Ia bilang ia berangkat ke Amerika untuk mengambil studi S2 pada usia 42 tahun, dan dalam keadaan tidak mengerti apa-apa. “Anda baru 21 tahun sudah jauh lebih mengerti dibanding saya ketika berumur 42. Anda harus doktor di bawah 30 tahun!”
*
Ketika Fazlur Rahman ke Jakarta pada 1985, ia mengatakan ia punya dua murid kesayangan di sini. “Nurcholish Madjid adalah mujaddid (pembaru), dan Syafii Maarif adalah mujahid (pejuang),” kata profesor Islamic studies itu.
Sampai hari-hari terakhirnya, Syafii Maarif — yang dulu kumis tebalnya membuat ia mirip bintang Hollywood Burt Reynolds — menjalankan peran mujahid itu dengan caranya sendiri. Ia terus meneriakkan battle cry “Umat Islam seribu tahun berhenti berpikir”, dengan beragam elaborasi.
Sebagai Ketua PP Muhammadiyah dan kemudian “Buya Guru Bangsa”, belakangan ia mengungkapkan kepedihan hati dan pesimismenya terhadap masa depan Indonesia secara keseluruhan, bukan hanya tentang kondisi umat Islam beserta corak pemikiran keagamaannya.