Sidang biasanya dimulai dengan semacam ‘problem setting’ yang panjang lebar oleh Presiden, baru dilanjutkan dengan diskusi oleh para anggota kabinet. Saya sering mendapatkan sesuatu yang baru dari diskursus pembuka yang panjang itu. Saya masih ingat misalnya bagaimana beliau meng-analogi-kan sebuah perekonomian yang mengalami krisis dengan pesawat terbang yang mengalami ‘stall’ di udara.
Sebagai ilmuwan nampaknya beliau menganggap lumrah adanya perbedaan pendapat. Saya sendiri merasa tidak ada halangan batin untuk menyampaikan pendapat yang berbeda dengan beliau. Saya melihat bagaimana beliau berusaha untuk mendengar dan mengerti pandangan yang berbeda itu. Tentu pada akhirnya beliaulah yang memutuskan.
Selesai di pemerintahan beliau sibuk dengan berbagai kegiatan di dalam dan luar negeri. Saya sendiri juga mempunyai kesibukan dan kegiatan. Dari waktu ke waktu saya berusaha untuk tetap bersilaturahmi dengan beliau.
Apa legacy Pak Habibie?
Inilah yang terekam dalam angka-angka. Dalam masa kerja Kabinet Reformasi Pembangunan yang singkat itu, yaitu 17 bulan, ekonomi Indonesia mulai bangkit dari krisis. Ekonomi yang semula terjun bebas, dapat direm dan diputar arah. Bila pada tahun 1998 PDB Indonesia menciut minus 13%, pada tahun 1999 dapat kembali tumbuh dengan plus 0,8%. Inflasi turun dari tingkat yang sangat tinggi, sudah mendekati hiperinflasi, 78% menjadi hanya 2%. Kurs rupiah menguat dari Rp 17 ribu per dolar menjadi antara Rp 7 – 8 ribu saja. Sektor perbankan yang mengalami stroke mulai siuman dan menggeliat kembali.
Semua ini dapat dibaca di berbagai sumber. Saya akan menggunakan sisa waktu untuk membahas beberapa legacy lain dari pemerintahan Pak Habibie yang tidak terekam dalam angka, tapi tidak kalah pentingnya dan bahkan, menurut hemat saya, menjadi landasan tercapainya prestasi-prestasi kuantitatif tadi.
Ini sedikit cerita dibalik cerita. Pada awal saya bergabung dengan Kabinet Reformasi Pembangunan, sebenarnya ada keraguan pada diri saya, yaitu apakah saya bisa memberikan kontribusi yang berarti?
Pada waktu itu ekonomi Indonesia sedang pada titik yang terendah, sementara suasana politik tidak menentu. Tapi yang lebih menjadi kegundahan sebenarnya bukan di situ. Saya belum yakin apakah kabinet pertama pasca Orde Baru ini bisa menyepakati dan melaksanakan kebijakan ekonomi yang rasional dan efektif.
Kerisauan itu timbul karena sebelumnya saya terbiasa bekerja dalam suasana kerja lain, yaitu suasana kerja teknokrasi – dalam ecosystem tim ekonomi yang solid – bersama mereka yang pola pikirnya umumnya masuk dalam spektrum mainstream economics.
Kabinet baru ini berisi orang dengan latar belakang yang bervariasi. Pertanyaan yang timbul di benak saya adalah apakah usulan kebijakan yang berdasarkan ‘mainstream economics’ yang saya terbiasa, laku atau dapat memperoleh dukungan?