Barangkali anda yang seumur saya masih ingat, sebelum krisis sudah muncul di negeri ini perbedaan-perbedaan pandangan yang cukup tajam di bidang strategi ekonomi.
Misalnya, pertanyaan apakah kebijakan fiskal yang dilaksanakan pada waktu itu tidak terlalu konservatif sehingga justru menghambat pembangunan? Mengapa kita tidak lebih “berani” menanggung defisit anggaran yang lebih besar demi mempercepat pembangunan infrastruktur, industri dan teknologi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi?
Mungkin anda masih ingat pada waktu itu juga berkembang perdebatan, mirip yang terjadi di Turki sekarang ini, mengenai bagaimana menangani inflasi. Pandangan konvensional mengatakan bahwa inflasi dapat dikendalikan dengan menaikkan suku bunga untuk meredam permintaan. Pandangan lain mengatakan bahwa suku bunga justru harus diturunkan. Logikanya, dengan menurunkan suku bunga pertumbuhan ekonomi meningkat, dus barang dan jasa yang tersedia meningkat, dus harga-harga akan turun.
Was-was saya adalah bahwa sidang-sidang kabinet nanti akan diwarnai diskursus yang berkepanjangan sekitar kontroversi semacam itu. Tapi semua itu akhirnya terjawab setelah saya mengikuti rapat-rapat kabinet dan mulai mengerti posisi dan pandangan, ‘policymaker-in-chief’, yaitu Presiden.
Ini sekedar satu contoh. Pada satu sidang kabinet terjadi insiden (kalau boleh saya pakai istilah itu) di mana seorang menteri dengan nada sedikit marah menyampaikan bahwa alokasi anggaran yang diterimanya terlalu kecil untuk programnya. Beliau minta anggarannya ditambah. Seingat saya, kejadian serupa berulang beberapa kali.
Jawaban standar saya waktu itu begini: “Bapak Presiden, saya tentu bisa menambah anggaran itu, tapi mohon saya diberi arahan anggaran kementerian mana yang harus saya potong untuk itu.”
Insiden berakhir status quo dan suasana kerja kabinet setelah itu baik-baik saja. Kesimpulan saya, Presiden mengerti bahwa ‘fiscal prudence’ adalah jangkar pengelolaan ekonomi yang mutlak diperlukan pada waktu itu. Dugaan saya, Presiden sudah menerima masukan dari tokoh-tokoh yang beliau percaya. Bila Presiden dan menterinya berada dalam satu ‘wavelength’, pekerjaan sulit pun menjadi mudah.
Menurut saya, bagaimana Pak Habibie mengambil posisi yang pas dalam menangani krisis waktu itu adalah legacy beliau yang penuh hikmah dan pelajaran.
Perkenankan saya menyebut 3 legacy penting lain.
Pertama, independensi bank sentral. Seperti diketahui ini adalah salah satu aksiom dalam mainstream economics. Bank sentral yang independen adalah satu pilar utama pengelolaan ekonomi makro. Ini istimewanya. Tanpa ragu, Pak Habibie memilih salah satu bank sentral yang paling independen di dunia, Deutsche Bundesbank, sebagai model untuk reformasi undang-undang Bank Indonesia. Beliau mengundang mantan presiden Bundesbank, Dr. Helmut Schlesinger untuk menjadi penasehat tim perumus undang-undang Bank Indonesia.