Oleh Tulus Warsito, Guru Besar Politik Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Sangat mengejutkan, tiba-tiba terbetik berita bahwa Presiden Jokowi bersama delegasi berangkat ke Jerman yang akan dilanjutkan dengan kunjungan ke Ukraina dan Rusia, akan mengenakan rompi anti peluru dengan kawalan ketat bersenjata laras panjang dengan peluru tak terbatas.
Ooops.., sepintas seperti potongan kalimat komik spionase, atau cuplikan film Rambo dalam operasi penyelamatan perang. Padahal itu berita resmi, memang tentang misi yang ambisius dari seorang Jokowi dan menteri luar negeri yang luar biasa percaya dirinya.
Tulisan singkat ini menjelajah lebih jauh mempertanyakan: mungkinkah Jokowi sebagai pimpinan presidensi G20 berperan sebagai juru damai dari laga perang yang sudah berlangsung lebih dari tiga bulan itu? Kalau iya, langkah-langkah apa saja yang ditawarkan Indonesia untuk menengahi “perang saudara” itu.
Dalam pernyataan pers Rabu yang lalu Menteri Luar Negeri menegaskan bahwa Jokowi sebagai Presiden G20 sekaligus sebagai anggota the Champion Group dari The Global Crisis Response Group yang diinisiasi Sekjen PBB tidak ingin tinggal diam melainkan memilih untuk berkontribusi dalam kemelut perang tersebut.
Berdasarkan kelincahan presiden Jokowi dan tangan dingin Menlu, istilah “berkontribusi” bisa dimaknai sebagai gelagat ke arah peran sebagai juru damai. Presidensi G20 yang sebentar lagi berakhir tentu tidak disia-siakan untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin sebagai instrumen penganjur perdamaian.
Ada beberapa hal yang mengesahkan gagasan juru damai tersebut sebagai sesuatu yang tidak berlebihan. Pertama, tidak sama dengan kasus konflik Israel-Palestina, dalam Perang Rusia-Ukraina Indonesia mempunyai hubungan baik dengan kedua-belah pihak yang bertikai. Sehingga diharapkan keduanya berkenan mendengar upaya perdamaian yang kita tawarkan.
Kedua, dampak ekonomi dan krisis energi global dari perang tersebut juga sangat dirasakan di Indonesia. Ketiga, jumlah korban sipil yang telah mencapai lebih dari empat ribu jiwa, dan menghempaskan lebih dari tujuh setengah juta orang pengungsi selama tiga bulan terakhir ini, cukuplah untuk mengedepankan aspek kemanusiaan dalam usulan perdamaian.
Alasan keempat, kalau boleh dianggap yang paling istimewa, adalah; walaupun jumlah WNI yang ada di Ukraina maupun di Rusia hanya kira-kira masing-masing 200 orang saja, tetapi usulan perdamaian terhadap Perang yang berdampak global ini merupakan pertaruhan reputasi internasional bagi Indonesia.
Apalagi, sebagai alasan kelima, kenyataannya Presiden Jokowi merupakan pemimpin Asia pertama yang menyempatkan kunjungan resmi kepada pihak-pihak yang bertikai. Bahkan pemimpin Baratpun belum ada yang secara spesifik mengedepankan upaya damai tersebut.