Hari kedua adalah sesi tertutup untuk kelompok dan platform masyarakat sipil, membahas langkah-langkah praktis menuju koalisi multi-stakeholder untuk media sosial dan untuk mendorong praktik moderasi konten yang dipimpin komunitas.
Acara ini juga memperkenalkan platform Anti-Harmful Content: antikontennegatif.id. Melalui platform ini, masyarakat dapat melaporkan konten berbahaya dan membantu penelitian dan pemantauan di masa depan.
”Platform antikontennegatif.id adalah langkah menuju pemberdayaan warga untuk berbagi pengalaman mereka tentang konten berbahaya, dan pada akhirnya berkontribusi pada dunia maya yang lebih aman untuk semua,” jelas Novi Kurnia, peneliti CfDS.
Kegiatan ini dapat diikuti di: ugm.id/liveUNESCO28
Lebih lanjut tentang Social Media 4 Peace: en.unesco.org/social-media-4-peace
What is Social Media 4 Peace Project?
Pada 2021-2023, UNESCO mengimplementasikan proyek ”Social Media 4 Peace: Countering online disinformation and hate speech to foster Peace”, yang dibiayai oleh European Union. Tujuan keseluruhan adalah untuk memperkuat ketahanan masyarakat terhadap konten berbahaya yang tersebar secara online. Khususnya disinformasi dan ujaran kebencian, sambil melindungi kebebasan berekspresi dan mempromosikan perdamaian melalui teknologi digital, terutama media sosial.
Proyek ini selaras dengan strategi keseluruhan UNESCO untuk memerangi disinformasi dengan mendorong informasi sebagai barang publik dan memperkuat transparansi ekosistem internet.
Indonesia terpilih sebagai salah satu dari tiga negara percontohan (dua lainnya adalah Bosnia – Herzegovina, dan Kenya), mengingat tingkat penetrasi Internet dan penggunaan media sosial yang tinggi, serta komitmen politik untuk mengatasi risiko konten berbahaya.
Pada tahap pertama pelaksanaan proyek, UNESCO telah bermitra dengan MAFINDO untuk melatih organisasi masyarakat sipil tentang penggunaan media sosial untuk membangun perdamaian dan mempromosikan Literasi Media dan Informasi.
Untuk menganalisis akar penyebab konten berbahaya online serta kerangka hukum yang ada untuk mengatasinya, UNESCO telah bekerja sama dengan Center for Digital Society (CfDS) di Universitas Gadjah Mada dan Article 19.